Kafka bangkit berdiri dan berjalan pelan menuju balkon.
     "Aku di sini dan surgaku ada di sana, Nosa," katanya memandang langit di kejauhan. Langit kian perlahan gelap, namun arak-arakan awannya masih bisa dilihat. Hari ini ia tidak terlalu sibuk di kantor sehingga ia memilih pulang cepat. Hanya saja setibanya ia di apartemennya, ia tak buru-buru menghubungi Nosa. Ia ingin menikmati kerinduannya terhadap ibunya seorang diri. Dalam sepi.
     "Dan surga diciptakan untuk orang-orang yang ikhlas serta juga panjang sabar, Kafka. Itu yang perlu kau tahu."
     Kafka menoleh pada gadis itu dan melekatkan tatapan padanya. Ia mendapati Nosa tersenyum. Wajahnya tampak cantik—dan menurut Kafka jauh lebih cantik sore ini.
     "Kau semakin mirip Mama, Nosa, kau begitu welas asih. Aku mengandalkanmu," katanya dengan sorot mata penuh harap. "Aku akan mengajukan cuti dalam waktu dekat. Kita akan ke Medan."
     "Aku berharap pertahananmu tak jebol lagi."
     Kafka mengangguk sekenanya. Ia tak perlu merasa tersinggung dengan sindiran semacam itu.
     "Aku mau mi rebus." kata Kafka. "Kau mau? Aku bantu masakkan untukmu?" lanjutnya menawarkan.
     "Boleh. Jangan pakai sawi, seperti biasa." Nada suara Nosa berubah riang. Tangannya lekas menggapai remote tv yang ada di sudut bagian dalam lengan sofa.
     "Your wish my command," sahut Kafka ringan lalu berjalan menuju dapur—karena tahu pada akhirnya bahwa pencerahan akan selalu tiba—pada kesudahannya, memang benar hidup manusia terkadang terbuat dari percampuran merawat kemungkinan, mendoakan harapan, secangkir minuman kesukaan, dan atau sajak suka duka yang dipersatukan.
     Berkat Tuhan ada di antaranya.