Nosa tahu Kafka sudah lelah berpura-pura.
     "...kau hanya perlu menjadi berani," lanjut Nosa mengarahkan lagi pandangannya pada Kafka.
     "Apa kau pikir aku bisa melakukannya, Nosa? Apa aku punya keberanian seperti yang kau katakan itu saat aku bertemu Mama?"
     "Mudah-mudahan. Kau bisa mempraktikkan keahlianmu sebagai seseorang yang ahli bicara," Nosa berusaha mencairkan suasana, berharap ketegangan Kafka pecah, "meskipun tentu saja ibumu bukan seperti salah satu calon klienmu."Â
     Dan benar saja, Kafka mencair. Gunung es itu runtuh. Senyum bulan sabit—meskipun tampak terpaksa—terlihat di wajahnya.
     "Aku tidak ingin melukai hatinya..."
     Kafka menundukkan kepala. Masygul.
     "Lalu, untuk apa kau dengan bangga membicarakan seluruh peralatan rias beserta segala macam kosmetik itu padaku?" sergap Nosa. "Untuk apa pula kau dengan percaya dirinya tampil memukau di hadapanku dengan pakaian yang aku sendiri tak pernah terlalu percaya diri mengenakannya?"
     "Aku..."
     "Dan untuk apa kau dan aku saling kenal jika bukan untuk ini aku kau persiapkan, Kafka?"
     Kafka menerawang mendapati wajah Nosa yang duduk di seberang. Langit masih berkabut. Gerimis baru saja berhenti. Tetapi, rembang petang masih bisa dinikmati. Hidup sendiri di kota orang dengan rahasia besar yang tak satu orang pun tahu—kecuali Nosa pada akhirnya—sangat menyiksanya, dan ia sudah tak sanggup lagi untuk lama-lama menyimpannya lagi.