Selama seseorang tersebut tidak mendikte orang lain atau tidak berupaya memaksakan cara pandangnya itu, pilihannya untuk childfree sah-sah saja (baca: selama dia mengomunikasikannya dengan pasangannya dalam ikatan pernikahan), sekalipun boleh jadi orang itu akan "berdiri" di antara pujian dan cibiran.Â
Itu pula yang sedang dilakukan Gita Savitri (baca: atau tengah dihadapi)—beserta pasangan hidupnya.Â
Mental Issue
Keputusan seseorang untuk childfree tidak hadir begitu saja, tidak secepat saat seseorang memilih biru atau merah sebagai warna kesukaan—percayalah, childfree sangat memerlukan pertimbangan, bahkan boleh jadi hal itu akan terjadi (baca: mungkin) sebelum pernikahan dilaksanakan.Â
Salah satu pertimbangan yang saya maksud di antaranya adalah menyoal mental issue.
Ada banyak mental issue yang menyertai keputusan seseorang untuk childfree.
#1 Trauma masa lalu
Saya menempatkan ini sebagai pointer teratas dalam daftar mental issue—dan kejadian-kejadian di masa lalu adalah bahan bakarnya, apalagi jika itu menimbulkan luka batin yang dibawa hingga dewasa.
Trauma tidak mudah untuk sembuh—alih-alih sepenuhnya dilupakan.
#2 Kematangan emosi
Emosi yang stabil adalah salah satu kunci mengapa seseorang memilih childfree. Karena, tak semua orang berani mengakui bahwa mereka tidak mampu matang dalam mengelola emosi seperti sedih, mudah jengkel, cepat tersinggung, banyak menduga-duga dan berprasangka—serta tentu saja mudah marah.
Selain itu tidak semua orang mampu melakukan self acceptance yang baik terhadap dirinya sendiri sekalipun orang tersebut telah membuat batasan-batasannya (boundaries) dalam menjalani hidup.
#3 Ilmu parenting