Kalau dipikir-pikir, semakin banyak tamu yang datang berarti (baca: mungkin atau boleh jadi) semakin nggak enakan pula sebenarnya yang punya hajatan.
Nah lho!
Karena hal itu berbanding lurus dengan jumlah biaya yang dikeluarkan bukan? Terlebih lagi di kota-kota besar yang segala macamnya serba mahal—sehingga tak heran semakin mahal prediksi biaya yang akan dikeluarkan maka semakin pula jadi beban pikiran menjelang hari h pernikahan.
Ups.
Nggak enakan ini tentu saja erat kaitannya dengan kenyataan "kebiasaan" sebagian besar dari masyarakat Indonesia yang ogah jadi bahan pembicaraan orang-orang hanya karena pasal—jumlah—undangan, alih-alih jadi cibiran diam-diam mereka.
#2 Gengsi dong!
Banyaknya tamu yang diundang bisa mempertegas pula "status" yang punya hajat di hari H pernikahan—tak peduli seberapa banyak biaya yang akan dihabiskan; tak peduli berasal dari mana biaya itu didapatkan (baca: amit-amit kalau sampai ada aset yang harus dijual—atau minimal digadaikan; amit-amit kalau sampai ke sana-sini "nyari utangan).
Uniknya, terkadang pesta diadakan berulang-ulang—yang kalau istilahnya saya bilang sengaja “diada-adain”.
Bergaya hidup sejatinya sultan atau tidak dalam kehidupan sehari-hari, tabiat jelek ini sepertinya masih dipelihara hingga kini—meski tanpa disadari.
Ya, begitulah, tak semua orang berani mengakui bahwa gengsi lah yang sebenarnya dikedepankan tapi kedoknya berbagi kebahagiaan.
O-ow.
Bukankah ukuran yang kita pakai (baca: apa lagi untuk mengukur orang lain) akan kembali digunakan untuk mengukur kita?