Tapi, saya mainnya halus; tidak grasa-grusu, apalagi kentara: saya melakukan aksi investigasi saya itu di sela-sela waktu saat saya bertugas. Siasat ngobrol-ngobrol ringan pun tak berat hati saya lakukan.
Hanya saja, dalam tulisan ini, saya tidak akan secara spesifik membahas berapa nominal biaya yang dikeluarkan untuk sebuah pernikahan. Biarlah itu jadi rahasia dapur dari yang punya hajatan.
Kalau skalanya (baca: tempat dihelatnya) gedung convention center atau hotel berbintang, jelaslah pasti menguras tabungan. Tapi, jangan salah, pernikahan skala rumahan juga tak cukup satu atau dua juta, kawan.
Nah, itu (baca: perkara biaya) tak akan membuat kita mengelus dada kalau tamu undangan pernikahan yang datang bisa dipastikan tidak banyak alias mengundang sirkel yang—sangat—terdekat saja.
Sayangnya, tidak banyak yang berani melakukan itu. Dalihnya adalah apa lagi kalau bukan karena momennya pas (baca: yang katanya hari h adalah gerbang hidup baru).
Tamu undangan yang direncanakan akan hadir bisa datang dari keluarga inti atau sanak keluarga inti. Kerabat jauh yang ada di seberang kecamatan atau seberang pulau pun turut diundang padahal—bisa saja—ketemu juga jarang, parahnya cuma pas lebaran.
Itu belum dihitung tetangga dan teman-teman dari yang punya hajatan (baca: teman-teman kedua manten, dari kedua orangtua manten atau teman-teman dari sejumlah adik dari kedua manten).
Ya, Tuhan...
At least, “nggak rame ngga afdol!”
Dari kerucut investigasi ala-ala-an yang saya lakukan, setidaknya ada tiga (3) alasan mengapa bisa terjadi demikian (baca: tamu undangan dipastikan banyak yang akan datang).
#1 Merasa "nggak enakan"
Kultur ini sudah sangat mendarah daging di masyarakat Indonesia dan pelan-pelan menyusup dalam tiap urat nadi—tak peduli berasal dari belahan Indonesia bagian mana mereka (baca: adat-istiadat, budaya dan tradisi).
"Nggak enakan" ini menyentuh hampir keseluruh lapisan masyarakat.