Tapi, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak; takdir Tuhan lah yang jadi pemutus segalanya.
Kalau sudah begitu (baca: mengetahui berita-berita yang menyusahkan hati yang diakibatkan pandemi Covid ini)—biasanya—saya langsung buru-buru mengalihkan perhatian.
Langkah pertamanya tentu saja menutup laman media sosial, menarik napas lalu menyibukkan diri pada sesuatu yang bisa saya kerjakan.
Pada intinya, saya tak mau berita-berita kesedihan melenyapkan lagi harapan saya tentang bayangan kehidupan yang lebih baik di masa depan (walau tak saya pungkiri berita-berita tak mengenakkan seperti tadi membuat saya lebih mawas diri).
Sekarang, tak ada yang lebih penting selain bertahan hidup.
Saya selalu mencekoki sugesti itu tiap hari—alih-alih tiap jam, menit dan detik—ke dalam kepala saya.
Cukup itu dulu—dan itu lebih dari cukup.
Jauh dalam hati, saya mencoba memancing gelak demi menghibur diri sendiri “tunda dulu keinginan untuk menjadi kaya, tunggu sampai pada masanya”.
Karena tidak mungkin menjadi kaya, jika sudah kehilangan nyawa—dan untuk bertahan hidup, saya harus memastikan diri saya dan sirkel terdekat saya dalam keadaan baik-baik saja.
Dalam keadaan genting seperti ini, cuma itu yang terpenting. Tak ada yang lain. Meski pada prosesnya saya diharuskan untuk tetap selalu berjaga-jaga terhadap diri sendiri lalu setelahnya “menjaga” mereka yang ada dalam penjagaan saya.
Tapi, yang jelas saya tidak sendiri. Tentu ada banyak orang yang juga melakukan hal yang sama seperti yang saya lakukan—dan itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang masih memiliki nurani serta rasa kasih sayang yang tinggi pada setiap orang yang mereka cintai—alih-alih untuk kemaslahatan bersama; hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang di mulutnya tak sanggup mengatakan jika Covid ini hanyalah konspirasi.
Sekarang tak ada yang lebih penting selain bertahan hidup.