Yang ingin saya katakan, fotografi bisa mengasah "feel" saya, salah satunya dalam melihat sebuah foto; dia mampu menempatkan diri saya untuk jujur dalam menilai (baca: setelah saya memberikan feel tersebut).
Fotografi juga membuat otak kanan saya memiliki peran yang dominan (baca: dan menjadi penyeimbang otak kiri); membuatnya lebih produktif dan kreatif.
Dengan kata lain, fotografi mampu mengasah bakat dalam diri saya dengan cara yang "berbeda"—bahkan mungkin pada awalnya saya tidak menyadari bahwa saya bisa berpikir ke arah sana.
#3 Membantu melihat realitas yang sesungguhnya dari kehidupan
Every picture tells story.
Saya sepakat dengan ungkapan itu.
Benar sekali, tidak ada satu foto yang dibuat tanpa menyimpan makna atau pesan tersendiri—setidaknya bagi mereka yang melakukannya (baca: membuat foto itu ada untuk terdokumentasikan).
Salah satu contohnya, coba tanyakan bagi mereka yang suka sekali jeprat-jepret di jalanan dengan aliran street photography sebagai genre fotografinya; tanyakan apa yang sebenarnya membuat mereka tertarik berada secara langsung di lapangan.
Baca juga: 5 Hal yang Harus Dipikirkan Para Puan Saat Melakukan Street Photography Sendirian
Saya berani bertaruh—dengan seluruh eksistensi saya kalau perlu—bahwa para pegiat fotografi jenis ini ingin membantu orang-orang (baca: dengan mata visual mereka) untuk melihat realitas sesungguhnya dari kehidupan—sejatinya sebuah kenyataan.
Ya, biar foto yang bicara; biar foto yang membantu tiap orang memilih kata-kata apa yang pantas untuknya.
Setali tiga uang, pun saya melakukan hal yang sama.
#4 Cinta sering dimulai dari cerita
The camera makes you forget you're there. It's not like you are hiding but you forget, you are looking so much.
— Annie Leibovitz
Jalan yang dilewati setiap hari, orang yang kerap ditemui, bangunan yang tadinya menimbulkan decak kagum di hati—hingga seseorang yang disayangi, semuanya akan berubah dan perubahan itu adalah niscaya.