Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Selalu Ada Alasan Mengapa Seseorang Ingin Tampil Menawan Lewat Penampilan

21 Juni 2021   04:59 Diperbarui: 21 Juni 2021   09:42 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu pembenaran yang jika tiap kali diulang-ulang—dilihat atau didengar—kelak akan dipercayai sebagai sebuah kebenaran. 

Saya berkeyakinan demikian, terlepas itu baik atau tidak—termasuk menyoal pembenaran penampilan seseorang.

Ya, selalu ada alasan valid yang dilakukan setiap orang tentang mengapa dia ingin menunjukkan penampilan terbaiknya di hadapan orang lain.

Katakanlah tentang pemilihan pakaian, penggunaan aksesoris penunjang yang dikenakan di badan—atau make up yang tak lekas raib dari wajah bagi seorang puan. 

Penampilan adalah langkah pertama yang akan dilakukan setiap orang untuk sekadar mendapat perhatian sebelum menuntaskan sebuah maksud setelahnya. Sungguh sulit sebenarnya saya mengatakan ini, namun sepertinya itu benar adanya—itu seolah menjadi pembenaran kelak untuk orang-orang memberikan perlakuan atau "treatment" seperti apa yang akan didapatkan orang tersebut.

Sebuah temuan yang dipublikasikan dalam Journal of Neuroscience tahun 2014 menyebutkan,

otak memiliki kemampuan otomatis untuk memberikan peringatan dan mengirimkan sinyal supaya langsung waspada terhadap orang yang memang seseorang persepsikan tidak dapat dipercaya.

Sesuatu yang tidak dapat dipercaya ini bisa macam-macam bentuknya—dan berangkat dari penelitian itu, saya berkeyakinan bahwasanya ketidakpercayaan tersebut boleh jadi—(baca: saya persepsikan)—bisa diperoleh atau diyakini dari sebuah penampilan seseorang!

Sedikit ironis memang.

Penelitian tadi pada akhirnya seolah memberikan sebuah "aturan" hidup bagi seseorang bahwa kesan pertama merupakan hal yang paling krusial. Karena hal tersebut akan sangat menentukan bagaimana kesan selanjutnya yang akan didapatkan seseorang (jika memungkinkan akan ada pertemuan-pertemuan lanjutan).

Sehingga, agar diterima oleh orang lain tersebut, seseorang berupaya "keras" untuk terlihat memikat atau menawan.

Pertanyaannya adalah mengapa seseorang benar-benar ingin melakukan itu (baca: entah dilakukan dengan sadar atau tidak)—alih-alih benar-benar berusaha tampil apa adanya saja sebagai dirinya?

Saya punya beberapa teori terkait hal ini.

#1  Terkait validitas

Sudah terlalu banyak cerita usang yang kerap kita tahu tentang betapa tak sedikit orang yang sering dinilai atau mendapat perlakuan tidak semestinya (baca: sesuai yang dia harapkan—atau sesuai standar norma-norma kesopanan) hanya dari atau dikarenakan penampilannya—tak peduli jika orang tersebut ternyata membawa sesuatu yang kelak akan dinilai "penting".

Hingga mari berkaca pada ungkapan:

people don't look your personality first, people judge you automatically by your looks and then try to get to know your personality; but the second they don't like your looks, they don't want get to know you.

Dalam poin ini "power" (baca: uang, jabatan, pendidikan, pengalaman dan lain sebagainya) seseorang belum sepenuhnya dibicarakan; sebaik-baiknya sebuah penampilan dari seseorang dilakukan hanya semata-mata untuk mendapatkan perhatian terlebih dahulu.

Selanjutnya barulah proses "penerimaan" dan atau "pengakuan" atas keberadaannya itu akan dilakukan (baca: dalam proses yang berkelanjutan).

Selalu ada alasan mengapa seseorang ingin tampil menawan bukan—sstt, apalagi jika itu adalah pertemuan di kali pertama...kencan?

Berdandan bagi seorang puan bisa dilakukan untuk membuat kesan yang menawan. (Sumber: Pexel/Foto oleh Andrienn)
Berdandan bagi seorang puan bisa dilakukan untuk membuat kesan yang menawan. (Sumber: Pexel/Foto oleh Andrienn)

Baca juga: Membuat Dia Jatuh Hati pada Kencan Pertama? Ini Spill-nya!

#2 Safety needs

Reaksi orang lain terhadap seseorang melalui penampilan yang telah ditunjukkannya berkorelasi langsung dengan reaksi lanjutan terhadap apa yang orang tersebut rasakan—bahkan boleh jadi hanya seulas senyum atau raut ramah orang lain—alih-alih jika orang lain menaruh kalimat yang kian hormat melalui ucapannya.

Setelah mendapat reaksi demikian barulah seseorang tersebut merasa memiliki rasa aman (safety needs)—atau perasaan puas.

Safety needs juga berbicara tentang rasa bangga bahwa "pelaku"nya sudah melakukan satu tindakan yang menurutnya benar. Itu sudah barang tentu menimbulkan rasa percaya diri dalam dirinya. 

Sensasi terhadap apa yang dirasakan tersebut menjadi semacam bentuk penghargaan terhadap diri sendiri.


Aksesoris atau perhiasan kerap dijadikan alat penunjang penampilan seseorang. (Sumber: Pexel/Foto oleh Marta Branco)
Aksesoris atau perhiasan kerap dijadikan alat penunjang penampilan seseorang. (Sumber: Pexel/Foto oleh Marta Branco)

#3 Hendak menciptakan (lagi?) jaringan yang dianggap penting

Manusia berperan untuk mampu beradaptasi, bertahan dan berevolusi sesuai dengan pikiran (baca: akal) dan tindakan.

Sehingga apabila "siklus-siklus" tersebut gagal diterapkan di satu tempat (baca: berikut orang-orang di dalamnya) maka manusia tersebut akan melakukan "eksperimen" lain untuk mengulang siklus itu dengan pola yang berbeda, di tempat yang berbeda—dengan orang yang berbeda pula.

Siklus yang saya maksud dalam poin ini berkaitan dengan terbentuknya sebuah jaringan (baca: koneksi—yang pada prosesnya mungkin disertai dengan pendekatan interpersonal yang dilakukan dengan baik) yang dianggap penting oleh seseorang nantinya; yang kelak semakin mengukuhkan eksistensinya di tengah-tengah lingkungan di mana orang tersebut berada.

Baca juga: Selalu Ada Hipotesis untuk Dia yang Jago Bicara

Ya, selalu ada rupa-rupa alasan mengapa seseorang ingin terlihat memikat melalui penampilan; ingin selalu mencuri perhatian (baca: di benak tiap orang yang ditemuinya) alih-alih hendak menginginkan sebuah penghargaan.

Seolah menjadi refleksi pembenaran dari yang pernah dikatakan seorang Arch Hades bahwa bagaimana mereka memperlakukanmu adalah yang mereka pikirkan tentangmu—dan apa yang kamu izinkan untuk mereka lakukan adalah apa yang kamu pikirkan tentang dirimu sendiri.

Apa makna "terselubung" dari kalimat bijak tersebut?

Maknanya adalah tak semua orang siap dengan sebuah ketimpangan perlakuan (baca: yang tidak semestinya yang berasal dari penilaiannya atau sesuai norma-norma kesopanan kebanyakan orang) dan untuk mengantisipasi hal tersebut seseorang akan melakukan sebuah "cara" yaitu dengan menunjukkannya melalui penampilannya yang terbaik—dengan sebaik-baik apa yang dia punya, alih-alih dengan sesuatu yang bisa dikatakan mahal—atau mewah.

Jadi, istilah don't judge a book it's cover apakah masih relevan? Saya rasa tidak juga, apalagi jika itu dibenturkan dengan kenyataan di lapangan.

Karena yang saya yakini, setiap orang menilai seseorang tentu dengan penampilan—meski itu tak melulu bisa diungkapkan.

Karena jika pepatah itu relevan maka tak mungkin toko-toko fashion atau aksesoris yang menjadi penunjang penampilan bermunculan baik offline ataupun online; tak mungkin seseorang kukuh untuk tidak jadi korban iklan!

Namun, akhirnya pada tiap individu lah (baca: menyikapinya) semua dikembalikan. 

Tabik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun