Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sexist Joke, antara Rape Culture dan Tiga Cara Sederhana Menyikapi Pelakunya

16 Juni 2021   05:39 Diperbarui: 16 Juni 2021   11:15 1900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi merayakan bahagia tanpa seksisme melalui kaos "statement" (Sumber: Pexel/Foto oleh Ace AK)

Itu adalah salah dua contoh kelakar yang paling mudah untuk diidentifikasi.

Masih kurang? Bagaimana dengan, 

"Duh, punya anak tujuh, udah turun mesin tujuh kali dong!"

Apalagi jika itu diakhiri dengan tawa yang terkesan mengolok-olok.

Lalu, apa kabar jika ada orang yang  memilih tidak menikah (baca: belum, karena satu dan lain hal), meski usia di "masyarakat" menganggapnya sudah pantas—alih-alih berumur?

Baca juga ini: You May Be Late But You Are The Boss

Di satu kesempatan lain, saya pernah mendengar dalam suatu obrolan ada seseorang nyeletuk sambil tertawa ke arah teman-temannya yang lain dan berkata bahwa hasrat seksualnya entah mengapa mudah sekali terpancing hanya karena melihat anak-anak rambut yang basah di tengkuk leher seorang puan.

Serupa tapi tak sama, temannya yang lain menimpali jika dia malah tak tahan melihat kaki basah dari seorang puan!

See?!

Ilustrasi jika seksisme itu tidak pandang bulu untuk para pelakunya. (Sumber: via Yellowjokes.com)
Ilustrasi jika seksisme itu tidak pandang bulu untuk para pelakunya. (Sumber: via Yellowjokes.com)

Ya, humor seksis memang telah menjelma menjadi semacam sebuah "norma" kebiasaan yang bercokol kuat di berbagai tempat ditiap tatanan kehidupan. Tidak peduli di sekolah, di kantor, di tongkrongan kafe gaul, di post ronda—dan lain sebagainya. Korbannya bisa siapa saja, dia tak mengenal jenis kelamin atau gender tertentu—meskipun pada faktanya yang jadi korbannya seringkali didominasi oleh para puan.

Jangan salah pula, pelakunya (baca: pelaku sexist joke) bisa pula dari keduanya.

Humor memang adalah sarana pergaulan, semua orang tahu itu. Dia juga digunakan sebagai "alat" untuk meredakan ketegangan (baca: digunakan untuk mencairkan suasana)—atau pula dilakukan untuk membuka percakapan yang cenderung kaku terhadap—sekelompok—orang tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun