Itu adalah salah dua contoh kelakar yang paling mudah untuk diidentifikasi.
Masih kurang? Bagaimana dengan,Â
"Duh, punya anak tujuh, udah turun mesin tujuh kali dong!"
Apalagi jika itu diakhiri dengan tawa yang terkesan mengolok-olok.
Lalu, apa kabar jika ada orang yang  memilih tidak menikah (baca: belum, karena satu dan lain hal), meski usia di "masyarakat" menganggapnya sudah pantas—alih-alih berumur?
Di satu kesempatan lain, saya pernah mendengar dalam suatu obrolan ada seseorang nyeletuk sambil tertawa ke arah teman-temannya yang lain dan berkata bahwa hasrat seksualnya entah mengapa mudah sekali terpancing hanya karena melihat anak-anak rambut yang basah di tengkuk leher seorang puan.
Serupa tapi tak sama, temannya yang lain menimpali jika dia malah tak tahan melihat kaki basah dari seorang puan!
See?!
Ya, humor seksis memang telah menjelma menjadi semacam sebuah "norma" kebiasaan yang bercokol kuat di berbagai tempat ditiap tatanan kehidupan. Tidak peduli di sekolah, di kantor, di tongkrongan kafe gaul, di post ronda—dan lain sebagainya. Korbannya bisa siapa saja, dia tak mengenal jenis kelamin atau gender tertentu—meskipun pada faktanya yang jadi korbannya seringkali didominasi oleh para puan.
Jangan salah pula, pelakunya (baca: pelaku sexist joke) bisa pula dari keduanya.
Humor memang adalah sarana pergaulan, semua orang tahu itu. Dia juga digunakan sebagai "alat" untuk meredakan ketegangan (baca: digunakan untuk mencairkan suasana)—atau pula dilakukan untuk membuka percakapan yang cenderung kaku terhadap—sekelompok—orang tertentu.