Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Katanya "Good Photographer is Good Editor Too", tapi Syalala Dendangkan "Sejak Kapan?"

14 Juni 2021   06:09 Diperbarui: 15 Juni 2021   15:05 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karena aku berbeda. Karena aku luar biasa!

Itu jawaban saya sewaktu adik bungsu bertanya pada satu kesempatan tentang mengapa saya bisa sangat berbeda dari yang dia kenal tatkala bertugas sebagai seorang fotografer di lapangan (baca: di beberapa kesempatan adik saya memang sering sengaja ikut ketika saya bertugas sebagai official photographer).

Ya, saya akui, saya memang bisa begitu sangat cekatan, bisa begitu jauh lebih ramah terhadap orang-orang, dan bisa begitu percaya diri pada saat melakukannya (baca: bertindak sebagai juru foto).

Saya rasa tidak ada yang salah. Karena, tiap orang tah memiliki banyak kesempatan untuk tanpa sengaja memperlihatkan kesiapan dalam melakukan sesuatu, bukan?

Baiklah, bukan tanpa alasan saya menjawab demikian. Bagaimana tidak, tidak semua puan bersedia menjadi seorang wedding photographer sekalipun dia tertarik terhadap fotografi dan apalagi sudah menjadi "kawakan" di bidang ini.

Percayalah, genre wedding bukan "lahan" yang nyaman untuk bertualang bagi seorang puan—alih-alih saya tak sungkan menyebut jika dengan menjadi female wedding photographer adalah bentuk lain "pemberontakan" saya dalam menjawab tirani maskulinitas dari sebuah profesi.

Baca juga ini: Jadi Female Wedding Photographer Bagi Perempuan Bukan untuk Gaya-gayaan

Di lain cerita, pada akhirnya, saya mengerti benar alasan mengapa para dedengkot seni visual melahirkan fotografi sebagai cabang seni—yang tak lain dan tak bukan—yang oleh karenanya seseorang dapat mengabadikan momen untuk diingat hanya dalam waktu yang sekejap—bahkan dalam satuan detik!

Saat shutter ditekan—dan voila foto diciptakan!

Beda memotret, beda pula sesuatu yang akan dilakukan setelahnya. Yup, saya berbicara soal pertimbangan untuk melakukan proses editing—atau tidak.

Good photographer is good editor too.

Sssttt...katanya.

Tapi, apakah benar demikian?

Ini tergantung pada siapa kau bertanya, kawan—hanya saja, seyogyanya, memang benar seorang fotografer haruslah bisa melakukan post processing tersebut—meskipun tidak diwajibkan masuk level skala "mahadewa".

Lagipula, tidak jadi masalah juga kalau memang sang fotografer sangat jago melakukannya, itu malah akan jadi nilai lebih. 

Tengoklah Dheny Patungka dengan segala kepiawaiannya—atau ada lagi nama lain yang sama piawainya seperti dia Gilmar Silva. Atau kau punya jagoan lain yang kau kenal, silakan jika ingin kau jadikan panutan?!

Namun, pertanyaan yang menggelitiknya adalah "sejauh apa itu bisa dilakukan? Atau hingga batas mana editing masih sah dipergunakan?"

Untuk urusan proses editing ini saya berani bertaruh—dengan seluruh eksistensi saya kalau perlu—di era sekarang tidak akan lebih dari lima persen dari keseluruhan total fotografer yang ada di dunia ini yang tidak pernah melakukan proses editing sama sekali, benar-benar murni tanpa menyentuhnya—bahkan untuk seperempat portfolio yang sudah dihasilkan. Meskipun itu hanya sebatas editing kontras, tone warna, dan atau ketajaman.

Delicate details pada sebuah acara resepsi pernikahan. (Sumber: Dokumentasi pribadi/Foto oleh Kazena Krista)
Delicate details pada sebuah acara resepsi pernikahan. (Sumber: Dokumentasi pribadi/Foto oleh Kazena Krista)

Memang tak semua genre fotografi membutuhkan editing major layaknya fotografi jurnalisme (baca: entah jurnalisme yang diperuntukkan untuk berita atau untuk dokumentasi demi kepuasan pribadi semata) atau fotografi jalanan (baca: street photography) yang justru kalau dilakukan dengan "kebanyakan" malah akan menghilangkan estetika—berikut pesan yang hendak disampaikan sang fotografer yang mengabadikannya.

Baca juga ini: Kepincut Jadi Female Wedding Photographer? Boleh Saja tapi 4 "Pakem" Ini Harus Dipegang

Namun, meskipun demikian, tetap saja editing akan "berperan" karena akan ada waktunya di mana momen yang tersaji tidak dibarengi dengan kesempatan (baca: kesiapan fotografer) yang maksimal akan ada kalanya foto tidak terlalu tajam atau malah terlalu gelap—atau malah "bocor" karena ada obyek yang seharusnya tidak boleh ada di foto itu?

Semua orang tahu (baca: bahkan fotografer juga termasuk di dalamnya) bahwa editing digunakan untuk memperindah tampilan foto baik dengan segala "printilan" yang menyertainya dan dengan segala tujuannya. Bahkan jika boleh saya katakan, editing bisa jadi digunakan juga untuk sebuah "pencitraan". 

Seolah belum cukup, ada lagi yang mengganggap jika proses editing mendominasi hampir tujuh puluh persen dari keaslian foto (baca: hanya fotografer yang bersangkutan yang tahu berapa persen perbedaan sebelum dan sesudah proses editing dari sebuah foto), maka pada saat itu pula sang fotografer sebenarnya sedang melakukan satu bentuk kecurangan.

Lalu, bagaimana jika satu foto dihasilkan dari empat foto yang berbeda namun dari tangan fotografer yang sama (baca: olah digital imaging)—hingga pada akhirnya justru foto itu sangat indah dan menawan mata bagi siapapun orang yang melihatnya? Apakah sang fotografer benar-benar berkhianat dari nalar estetika yang sudah dia ciptakan sebelumnya melalui keempat masing-masing foto itu? 

Saya rasa untuk pertanyaan ini, sang fotografer akan menjawabnya dengan kesadaran penuh—atau bisa jadi dia akan menjawab dengan pertanyaan balik—yang dikombinasikan dengan gaya selidik kalau perlu—seperti, "ada yang salah kalau saya mengawinkan foto mentah dengan proses editing demi mendapatkan hasil foto akhir yang benar-benar saya inginkan?"

Ups.

Baiklah, di akhir simpulan demi menjaga kesehatan mental kita bersama—terutama untuk sesama kita dalam satu profesi—mari kita sepakati bahwa:

Dianggap kecurangan atau tidaknya proses editing, semuanya tergantung pada tujuan dan sejauh apa pengeditan itu dilakukan; editing adalah bagian dari seni, jadi tak ada yang mutlak benar atau salah dalam hal ini.

Mungkin benar pada akhirnya "good photographer is good editor too" persis sejak foto itu diabadikan, dan layaknya seni, tidak ada aturan main yang kelewat baku. 

Hanya saja, saya selalu percaya obyek foto yang seorang fotografer pilih—entah hasilnya untuk kemudian diedit atau tidak—mencerminkan kepribadiannya; semua berbicara tentang bagaimana dia begitu menikmati tiap prosesnya.

Itu yang paling penting!

Dan satu lagi, jangan sombong sebagai fotografer terhadap sesama fotografer lain, apalagi kalau memang editing masih kau lakukan sebagai bagian dari proses "pembuktian" diri—kecuali, jika kau memang penganut idealisme tanpa tawar; jika demikian, itu boleh saja kau lakukan.

Salam jepret shutter dari saya.

Tabik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun