Good photographer is good editor too.
Sssttt...katanya.
Tapi, apakah benar demikian?
Ini tergantung pada siapa kau bertanya, kawan—hanya saja, seyogyanya, memang benar seorang fotografer haruslah bisa melakukan post processing tersebut—meskipun tidak diwajibkan masuk level skala "mahadewa".
Lagipula, tidak jadi masalah juga kalau memang sang fotografer sangat jago melakukannya, itu malah akan jadi nilai lebih.Â
Tengoklah Dheny Patungka dengan segala kepiawaiannya—atau ada lagi nama lain yang sama piawainya seperti dia Gilmar Silva. Atau kau punya jagoan lain yang kau kenal, silakan jika ingin kau jadikan panutan?!
Namun, pertanyaan yang menggelitiknya adalah "sejauh apa itu bisa dilakukan? Atau hingga batas mana editing masih sah dipergunakan?"
Untuk urusan proses editing ini saya berani bertaruh—dengan seluruh eksistensi saya kalau perlu—di era sekarang tidak akan lebih dari lima persen dari keseluruhan total fotografer yang ada di dunia ini yang tidak pernah melakukan proses editing sama sekali, benar-benar murni tanpa menyentuhnya—bahkan untuk seperempat portfolio yang sudah dihasilkan. Meskipun itu hanya sebatas editing kontras, tone warna, dan atau ketajaman.
Memang tak semua genre fotografi membutuhkan editing major layaknya fotografi jurnalisme (baca: entah jurnalisme yang diperuntukkan untuk berita atau untuk dokumentasi demi kepuasan pribadi semata) atau fotografi jalanan (baca: street photography) yang justru kalau dilakukan dengan "kebanyakan" malah akan menghilangkan estetika—berikut pesan yang hendak disampaikan sang fotografer yang mengabadikannya.
Baca juga ini: Kepincut Jadi Female Wedding Photographer? Boleh Saja tapi 4 "Pakem" Ini Harus Dipegang