Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Menjadi Easy Going: Merendah Tak Selalu Baik, Showing Off Tak Selalu Buruk

23 Mei 2021   05:49 Diperbarui: 23 Mei 2021   09:12 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi karyawan yang sedang dimintai tolong mengerjakan sesuatu. (Sumber: Pexel/Foto Andrea Piacquadio)

Berkenalan dengan orang baru atau blind date adalah dua kegiatan yang sama-sama menegangkan; memacu otak untuk kreatif menciptakan obrolan.

Pun saya demikian sebenarnya.

Tiap kali berkenalan dengan orang baru—lupakan blind date karena saya tidak pernah kencan secara langsung dengan orang yang tidak pernah saya kenal sebelumnya—pikiran saya selalu bertanya dengan penuh telisik, 'seasyik apa sih orang ini nantinya?'

Entahlah itu seperti sudah ter-setting dengan otomatis saja di ruang bawah sadar saya, sama otomatisnya tatkala saya menyambangi ranjang menjelang tidur dan seketika itu pula kaki saya tak henti-hentinya mendusel-dusel—hal mengasyikkan yang tanpa sadar saya lakukan dan tentu saja tak harus melibatkan orang.

Tapi, tulisan ini bukan hendak membahas sensasi berkenalan dengan orang baru—atau blind date seperti  prolog yang saya kemukakan di awal.

Bicara "asyik", seberapa asyik sih kamu?

Pernahkah kau bertanya langsung terhadap orang-orang yang kau kenal tentang itu? Apa tanggapan mereka?

Kalau belum pernah kau menanyakannya, coba besok atau beberapa menit dari sekarang—tentu saja setelah kau selesai membaca tulisan ini—kau boleh melakukannya.

Saya sih setuju tiap orang harus—sebisa mungkin—baik dan asyik terhadap semua orang.

Tapi, pada kenyataannya tidak 'selalu' demikian. Jika semua orang baik dan asyik seperti yang kita harapkan tidak mungkin ada istilah:

tidak ada kawan atau lawan, yang ada hanya kepentingan.

Ups.

Cerita-cerita seperti ini kerap terjadi di lingkungan kerja—tempat yang sarat dengan tekanan yang membabi buta.

Saya berani menjamin, di tiap lingkungan kerja manapun selalu ada segelintir orang yang masuk golongan 'susah melihat orang senang dan senang melihat orang susah'.

Tapi, biasanya si baik nan asyik—bahasa kerennya sih si easy going—selalu tak pernah kehilangan muka.

Dia (baca: si easy going) sangat jarang tidak dicintai teman-teman; karakter ramah selalu melekat padanya. Dia memiliki 'hipotesis'-nya tersendiri dalam menarik perhatian—kau bisa mencari tahunya di sini. Pokoknya, dekat dengan si easy going terasa menyenangkan karena bisa bikin hati senang.

Untuk urusan pekerjaan, dia jadi orang pertama yang diingat untuk kemudian dicari—bahkan dalam keadaan genting. Dia tak segan menyanggupi permintaan tolong dari rekan kerja yang meminta tolong padanya.

Dia juga tipikal orang yang down to earth dan biasanya tidak pernah menyombongkan diri.

Apakah semua kriteria di atas ada padamu?

Wah, selamat ya saya ucapkan.

Tapi, tunggu dulu.

Baik dan asyik terhadap semua orang bukan berarti sepenuhnya bisa dikatakan sebagai seorang easy going, bisa jadi kau people pleaser.

Tidak percaya?

Ini fakta-faktanya:

#1 I said—always—YES.

Selalu berusaha ingin menyenangkan orang lain adalah penyakit—dan ini adalah tabiat people pleaser yang paling mencolok untuk segera bisa langsung dikenali.

Seorang people pleaser selalu sulit punya kontrol untuk menolak permintaan orang lain yang ditujukan padanya—bahkan di lingkungan kerja yang toksik sekalipun, dia memilih netral.

Dalam keadaan apapun, dia berusaha tampil bak 'pahlawan'. Anehnya, meski terkadang merepotkan diri sendiri, dia berusaha mati-matian untuk tidak meminta bantuan.

Ilustrasi karyawan yang sedang dimintai tolong mengerjakan sesuatu. (Sumber: Pexel/Foto Andrea Piacquadio)
Ilustrasi karyawan yang sedang dimintai tolong mengerjakan sesuatu. (Sumber: Pexel/Foto Andrea Piacquadio)

Dia enggan merusak kredibilitasnya sebagai pahlawan di hati banyak orang.

#2 Memikat dengan personal branding.

Disadarinya atau tidak, seorang people pleaser kawakan selalu menjaga perasaan orang lain terhadapnya. Dia akan selalu menjaga tutur katanya—sangat memilih kata apa yang akan diucapkannya. Dengan kata lain dia tak ingin orang lain berpikiran jelek terhadapnya—alih-alih menyakiti hati mereka.

#3 Selalu ingin bermanfaat.

Satu prinsip—yang mungkin saja tak tiap orang tahu—untuk tetap waras dalam memasuki dinamika dunia kerja adalah:

jangan tunjukkan semua skill yang kau bisa.

Saya punya alasan berkata demikian. 

Karena tak semua orang dapat menghargai kebaikan orang lain yang ingin bermanfaat dengan ilmunya (baca: skill yang dipunya)—ya, kebanyakan orang justeru memilih jalan ninja dengan memanfaatkan kebaikan orang lain terhadapnya.

Dan ini kerap terjadi pula terhadap people pleaser.

Mereka terkadang sulit membedakan antara 'bermanfaat' atau 'dimanfaatkan' orang lain—atau sebenarnya dia sudah menyadarinya, hanya saja dia mungkin takut mengakuinya terhadap diri sendiri.

#4 Selalu ingin cinta damai.

Seorang people pleaser tak ingin sengaja cari 'masalah' maka sebisa mungkin dia menjauhi sesuatu yang berpotensi menciptakan konflik. Kalaupun pada akhirnya dia kesal, lebih baik dia ngedumel di belakang yang tidak ketahuan orang.

Tak peduli anak bawang atau yang berpengalaman, people pleaser beranggapan (baca: hendak menunjukkan pada orang-orang) jika dia hanya ingin cinta damai.

Ilustrasi seorang karyawan yang tertidur akibat kelelahan. (Sumber: Pexel/Foto Marcus Aurelius)
Ilustrasi seorang karyawan yang tertidur akibat kelelahan. (Sumber: Pexel/Foto Marcus Aurelius)

#5 Kacamata tiga dimensi sebuah pujian.

Merendah tidak selalu baik, showing off tidak selalu buruk—

yang ingin saya katakan adalah kualitas dan konsistensi punya caranya sendiri untuk merebut perhatian orang lain, terutamanya atasan atau bos di tempat kerja.

Ini yang terkadang tidak disadari people pleaser.

Dia merasa menerima pujian sama saja seperti 'menghajar' orang lain tepat di hidungnya—dan people pleaser pantang melakukan itu.

Pada intinya, memilih menjadi sebenarnya easy going atau sudah menyadari jika memang seorang people pleaser—dan sedang mencari cara untuk berhenti—dikembalikan pada pilihan seseorang; pada pilihanmu.

Karena yang saya tahu, pasti ada 'motif' tertentu di balik sebuah tindakan—dan tentu saja ini (baca: menjadi easy going atau people pleaser) soal pilihan identitas ingin menjadi sosok seperti 'apa' kau—kita—di mata orang-orang. 

Choose yours well.

Tabik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun