Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

You May Be Late But You Are The Boss

21 Mei 2021   05:45 Diperbarui: 21 Mei 2021   10:53 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disadari atau tidak siklus hidup selalu bicara tentang pembuktian diri, termasuk soal menemukan pasangan jiwa—dan perjodohan hanyalah bagian dari strategi untuk bertemu dengannya.

Pada prosesnya perjodohan memiliki dua wajah (baca: bagi mereka yang menyikapinya): diterima dengan "baik" atau dihindari tanpa kikik.

Namun, ada satu hal yang harus kau camkan: 

jangan—sok— berusaha menjodohkan seseorang jika yang bersangkutan tidak memintanya!

Karena, percayalah, jauh dari dalam hatipun kau tidak akan sudi diperlakukan sama.

Oh, c'mon kalau kau bukan termasuk orang yang sedang berupaya menjodohkan orang lain, tak perlu senewen. Santailah sedikit.

Sampai detik ini saya masih menganggap orang-orang yang memilih untuk repot menjodohkan seseorang dalam sebuah perjodohan (baca: ujug-ujug tiada angin tiada hujan main menjodohkan orang) adalah orang yang kurang "kerjaan". 

Mengapa saya katakan demikian? 

Karena saya menilai mereka seolah paling tahu kebutuhan dan standar kebahagiaan (baca: bahagia dengan menikah) seseorang itu seperti apa. Dengan dalih niat baik, mereka merasa ikut bertanggungjawab bertemunya seseorang tadi dengan jodohnya. Padahal, belum tentu dia mau menyumbang dana lebih banyak untuk urusan pernikahan kelak. Ups.

Lalu bagaimana jika orang tua yang menjadi dalang di balik sebuah perjodohan?

Non sense!

Orang tua yang melakukan itu seringnya tak lebih karena ada tekanan (baca: kerabat atau malah tetangga)—atau anggap saja mereka mungkin lupa jika mereka sudah lebih dulu menjalaninya (baca: pernikahan)—dan hasilnya, bahagia atau tidaknya kehidupan, tah, tak tiap kali diumbar-umbar alih-alih dipertontonkan.

Oh, apalah saya ini. Soal pernikahan dan biduk rumah tangga, saya tak lebih dari seekor anak anjing yang baru lahir.

Saya sebenarnya tidak terlalu pandai membahas soal perjodohan. Tapi, berkaca dari "pengalaman" setidaknya saya punya modal—dan karena saya tipikal orang yang pada dasarnya ogah dijodohkan, bersikap "ramah" bagi saya bukan sebaik-baiknya jalan.

Saya selalu ingin jadi "tuan" atas jalan asmara saya sendiri.

Sebenarnya, menurut saya ada beberapa alasan yang masuk akal mengapa seseorang sebaiknya tidak perlu menerima perjodohan yang disodorkan padanya.

#1 Mencegah sumpah serapah.

Entah disadari atau tidak, penjajakan atau proses perkenalan terkadang adalah bentuk tipu muslihat dari watak seseorang yang sengaja tidak semuanya ditampakkan—dan justeru ketahuannya setelah hari-hari biduk rumah tangga dimulai.


Menampik perjodohan—sekalipun dengan alasan niat baik—dari seseorang atau sekelompok orang akan mencegahmu mengucapkan sumpah serapah dikemudian hari terhadap mereka jika pernikahan yang diawali perjodohan itu pada akhirnya tidak berjalan dengan baik.

Marah terhadap diri sendiri atas pilihan yang salah jauh lebih bisa diterima akal sehat. Dengan kata lain hindari lah daripada kelak bertahan karena terpaksa dan bikin hati tersiksa.

Pernikahan bukan perkara reaksi kimiawi sehari-dua hari.

Pernikahan tidak sebercanda itu.

Baca juga: Kepengin Nikah? Perbanyak Dulu Adegan Marahnya


#2 Memilih sehat lebih baik daripada sembuh.

Tak ada satupun orang di bawah kolong langit ini yang menginginkan pernikahannya berujung perpisahan—sekalipun itu diucapkan dari bibir orang yang pada akhirnya memilih tak setia.

Di sinilah letak sakitnya!

Pernikahan yang tidak sehat akan menimbulkan luka batin—bahkan trauma. 

Namun, itu bisa dicegah jika perjodohan tak diterima.

#3 Bukan warisan.

Orang yang pernikahannya dimulai dari "metode" perjodohan biasanya punya alasan yang kuat untuk "mewarisi"nya pada generasi selanjutnya—dan bukan tidak mungkin siklus itu akan berulang dan akan diteruskan lagi dan lagi di kemudian hari kelak.

Padahal upaya perjodohan yang digencarkan tak selalu berbanding lurus terhadap mulus atau tidaknya kehidupan pernikahan.

Sepasang pengantin berjalan menuju panggung pelaminan. (Sumber: dokumentasi pribadi/Foto oleh Kazena Krista)
Sepasang pengantin berjalan menuju panggung pelaminan. (Sumber: dokumentasi pribadi/Foto oleh Kazena Krista)

#4 Bukan sesuatu yang obyektif.

Jika kau sanggup mengatakan kecantikan itu adalah sesuatu yang relatif maka izinkan saya mengatakan jika kebahagiaan itu adalah sesuatu yang subyektif.

Semisal contoh, sebagian mungkin mengatakan punya dua anak cukup untuk dikatakan bahagia bagi sepasang manusia yang telah menikah—namun sebagian lain mungkin mengatakan haruslah tiga—atau sebagian orang menilai, menikah diusia kepala tiga jauh lebih "aman" dari segala hal dibandingkan mereka yang memutuskan menikah pada rentang usia yang berada di bawahnya.

Lewat poin ini, saya ingin mengatakan:

mereka yang berusaha menjodohkan bukanlah penentu kebahagiaan.

Sejatinya, mau single atau taken, hidup pada dasarnya akan selalu bicara sesuatu yang tak sepenuhnya utuh; kebahagiaan hanya berpulang pada diri sendiri.


Perjodohan, bagi yang menerimanya—atau yang telah menjalaninya—akan dianggap sebagai jalan ninja baginya untuk mengingat orang yang pernah singgah berikut segala ceritanya—dan

bagi  mereka yang menolaknya dengan bersikukuh, kau tak perlu misuh. Karena siapa tahu yang sedang ingin kau jodohkan itu sedang mati-matian menahan rindu terhadap mantan pacarnya terdahulu.

Ya, siapa tahu begitu?

Tabik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun