Karena hari-hari pasca hari-h pernikahan adalah sejatinya kenyataan—
bisa jadi saling percaya saja tidak cukup; saling setia saja tidak jadi jaminan—keduanya malah seringkali tidak jadi modal yang sepadan untuk seseorang mengharapkan sebuah pernikahan idaman.
Oh, memangnya ada pernikahan yang benar-benar idaman?
Di sinilah letak rumitnya.
Saya sering bilang begini tatkala menyinggung pasal-pasal dalam sebuah hubungan di tiap sesi asmara bersama siapapun lawan bicara saya: sebelum kau memutuskan menikah, kau dan calon pasanganmu harus melewati fase adegan "marah" yang lebih sering, terlepas kau sengaja melakukannya atau tidak—dan sebagai tipikal orang yang suka cari-cari "masalah", saya sih suka memancing "keributan". Ups.
Bukan apa-apa, saya bercermin dari banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga—yang tidak sedikit pula berujung perceraian—yang terjadi setelah tahu ternyata pasangan yang dinikahinya sangat berbeda seratus delapan puluh derajat dibandingkan sebelumnya (baca: saat pacaran).
Saya tidak sedang ingin menambah beban pikiran siapa-siapa dengan mengatakan ini—alih-alih menakut-nakuti.Â
Tapi, memang faktanya berkata demikian.
Lagipula, apa istimewanya sih punya pasangan yang—sangat—jarang marah?Â
Bukankah itu kelak bisa menimbulkan masalah setelah menikah?
Padahal, ada sisi lain yang boleh dikatakan baik dari adegan marah-marah yang saya katakan tadi—setidaknya menurut saya.
Bukankah semakin sering seseorang tahu sikap calon pasangannya ketika marah maka semakin sering pula dia melihat secara langsung bagaimana gesture pasangannya. Semakin tahu pula bagaimana mimik muka pasangannya tersebut—atau reaksi spontannya.
Bukankah semakin sering seseorang melihat sikap calon pasangannya ketika marah maka semakin sering pula dia tahu bagaimana calon pasangannya bernegosiasi dalam memecahkan masalah, tahu bagaimana cara calon pasangannya meng-handle—kedua isi kepala (baca: kau dan dia), tahu sisi manjanya—dan tentu saja tahu ambang batas saat dia menahan rasa kesalnya?
Saya persingkat saja:
gede ambeklah sesering yang kau mau—bahkan untuk hal yang sepele sekalipun.