Mari lupakan tunjangan kesehatan—alih-alih tunjangan jabatan. Boro-boro pesangon atau uang yang disiapkan untuk pensiunan.Â
Padahal kalau lebih bijak kita cermati, profesi ini tetaplah menggunakan prinsip mutualisme di dalamnya baik bagi majikan (yang memperkerjakan) dan bagi mereka (yang memenuhi tanggung jawab akan pekerjaan itu) sendiri.
Tapi, pada kenyataannya?
Andai kita mau jujur pada diri sendiri, apa yang mereka kerjakan adalah membantu, bukan malah tanggung jawab itu sepenuhnya diserahkan pada mereka. Mereka adalah—hanya—asisten, yang memperkerjakan lah kepalanya.Â
Pandanglah dengan setara apa yang menyangkut tentang mereka: tentang hak-hak mereka sebagai pekerja atau hak-hak mereka sebagai manusia yang merdeka.Â
Ya, begitulah seyogyanya. Mungkin jika itu dilakukan lebih banyak dan lebih sering oleh para tuan dan nyonya—oleh kita—, mungkin kelak dunia lebih indah dari kacamata mereka.
May Day yang tiap tanggal 1 Mei bagi kita diperingati sebagai Hari Buruh Internasional, bagi mereka tak perlu diteriakkan dengan barbar.
Ah, ternyata benar apa kata orangtua, jika mereka memang punya cara sendiri untuk menunjukkan kasih sayang. Buktinya didikan masa kecil yang saya terima—terutama dari almarhumah mama—membuat saya lebih cakap dalam urusan domestik rumah tangga. Itu modal besar yang layak—telah—dipertaruhkan hingga saat ini.
Tabik.
Catatan:
Salam hormat saya untuk kalian, Bapak Ibu, Mas, atau Mbak yang berprofesi sebagai Asisten Rumah Tangga atau sejenisnya. Tak ada yang membedakan kita (saya dengan kalian atau siapapun yang membaca tulisan ini) di mata dedikasi dan pengabdian dalam bekerja.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H