Mungkin kebutuhan—buah dari keterdesakan—dan keadaan lah yang menjadikan sebuah keluarga pada akhirnya melakukan itu dewasa ini. Setidaknya itu yang kerap terjadi di kota-kota besar. Sekalipun itu di kota Palembang, tempat kami lahir dan dibesarkan.
Ngomong-ngomong soal pembantu rumah tangga (atau bahasa keren sekarang Asisten Rumah Tangga) pekerjaan ini dianggap kasta paling bawah, diwajarkan untuk diperintah-perintah, tugas domestik rumah tangga yang akan dikerjakannya selalu nangkring dalam kepala (nya).
Profesi ini terkadang lebih banyak menjalankan peran (kewajiban) dibandingkan memperjuangkan hak-hak yang memang sepantasnya mereka dapat dan tabiat jelek para tuan dan nyonya kerap tidak mereka sadari.Â
Padahal, profesi pembantu rumah tangga (ART) itu tak ubahnya staf-staf kantor (entah tinggi atau rendah jabatannya) atau pegawai biasa lainnya yang kerap kita temui.
Tah, semuanya sama, semuanya digaji: semuanya buruh!
Karena, siapapun kau, selama kau masih bekerja bertuan langsung pada orang lain dan mendapatkan upah dari sana; selama kau bekerja dengan menganggukkan kepala terhadap maklumat (keputusan/perintah) yang diberikan padamu—atau kau bekerja masih ditentukan oleh jam-jam kerja yang tak benar-benar bisa kau atur waktu sendiri, kau adalah BURUH.
Tetapi, lihatlah mereka dalam kacamata kita sehari-hari atau bisa pula kau saksikan lewat cerita-cerita berbalut skenario di televisi tentang mereka yang selalu siap sedia kapanpun keluarga majikan meminta bantuannya. Dengan kata lain, jenis pekerjaan ini terkadang (dominannya) tidak memiliki jam kerja yang jelas dan valid. Buanglah jauh-jauh istilah office hour.Â
Jadi, jangan kau keluhkan 9-5 (atau 8-4) yang kau rasa menyebalkan itu!
Jam lembur? Apalagi itu?
Jam lembur berlaku hanya bagi kau yang bekerja dengan ikatan kontrak yang jelas (di atas materai?), yang apabila perusahaan atau bos tempat kau bekerja melanggarnya dengan tidak memberikan remunerasi tambahan sebagai ganti jam lembur tersebut, maka akan bisa kau tuntut ke dinas terkait. Pembantu rumah tangga (ART) jarang bersuara soal ini. Entah karena ingin "tahu diri" dan memilih diam atau melakukan itu sebagai bentuk kewajaran.
Piawai dalam banyak jenis pekerjaan? Ya jangan ditanya!
Itu adalah kelaziman yang tak bisa disanggah. Ahli dalam banyak urusan domestik rumah tangga (bahkan kadang mengerjakannya dalam rentang waktu yang nyaris bersamaan) adalah kewajaran: menyapu, mengepel, beberes rumah. Belum lagi menyetrika, memasak bahkan hingga menemani anak majikannya bermain, pun mereka kerjakan dan itu nyaris tanpa jatah libur. Tak heran, momen hari raya adalah momen para majikan berkeluh kesah. Para tuan dan nyonya seolah lupa orang yang membantu mereka dalam urusan pekerjaan rumah tangga juga memiliki sanak dan keluarga.
Coba tanyakan bagi kita yang katanya berpendidikan. Kalau kejadian, wah, bisa jadi sudah misuh-misuh saban hari saban malam akibat dibekap kelelahan apalagi jika pendapatan yang didapat tak sepadan. Mereka jauh didepan dalam pengelolaan jiwa yang sabar. Bekerja tekun—nyaris senyap—dalam keseharian.Â