Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021 | Peduli menyoal isu sosial-budaya dan gender | Kontak: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Buku Harian Seorang Istri, Consent dan Jahatnya Patriarki yang Sistemik

25 Maret 2021   04:20 Diperbarui: 25 Maret 2021   07:40 828
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pemain sinetron Buku Harian Seorang Isteri (Sumber Magdalene.co)

Sejak awal saya sudah menggaransikan (berangkat dari sinopsis yang saya baca sebelumnya diawal-awal mulainya sinetron ini) jika sinetron ini akan memantik sisi emosional saya sebagai seorang perempuan sekalipun saya tidak dengan sengaja meluangkan waktu saya untuk menontonnya.

Dan benar saja, kian hari sinetron ini kian meresahkan!

Berangkat dari jalan cerita yang kian hari kian bikin gemas itulah, membuat saya merasa harus menulis artikel singkat ini.

Sedikit kilas balik, konflik utama dari sinetron ini diawali dari pernikahan terpaksa yang dijalani antara Nana (Zoe Abbas Jackson) dengan Dewa Buwana (Cinta Brian) atas permintaan Wawan (Umar Lubis), ayah Nana, jika Dewa tidak ingin dilaporkan ke polisi setelah menabraknya.

Singkat cerita permulaan sinetron ini diawali dengan digambarkannya secara jelas bahwa pernikahan Nana dan Dewa tidak bahagia karena memang tidak didasari dengan cinta sebagai konsep dasar berumahtangga dan dengan alasan itu pula lah—seolah bisa ditebak—Nana kerap mendapat perlakuan kasar dari keluarga barunya itu, termasuk dari suaminya. Seolah belum cukup, Dewa pun berselingkuh dengan Alya (Hana Saraswati) diawal pernikahan mereka.

Lihat, sejak awal saja betapa sudah jatuh tertimpa tangga—besi—pula apa yang dialami Nana!

Data survei yang dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada Februari 2020 yang menyatakan enam puluh persen penduduk Indonesia masih merupakan penonton setia sinetron—dan itu seharusnya menjadi acuan bagi media (termasuk rumah-rumah produksi) untuk menghadirkan produk tontonan yang "sehat" ke tengah-tengah masyarakat. 

Sayangnya, Buku Harian Seorang Isteri (yang menjadi sorotan dalam tulisan ini) menjadi bukti konkret betapa harapan itu masih jauh panggang dari api. 

Dengan dalih masih diminati pasar: rating dipertuankan, harapan mendapat tontonan mendidik bagi kita masihlah bagai pungguk merindukan bulan.

Namun, dari sekian banyak kritik keras yang tak berkesudahan yang saya layangkan pada diri sendiri terhadap jalan cerita sinetron ini (baca: karena melanggengkan sistem patriarki dengan segala kerugian yang diakibatkan olehnya), ada satu yang benar-benar bikin saya mengurut dada beberapa hari belakangan—dan itu adalah masalah consent tentang hubungan (yang menyoal seks) yang menyangkut di antara laki-laki dan perempuan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun