Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Berselancar-selancar Dahulu, Overthinking lah Kemudian

22 Maret 2021   06:15 Diperbarui: 22 Maret 2021   14:31 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya berani berkata bahwa hidup kita—seiringnya bertambahnya usia—lebih banyak diatur oleh anggapan orang: "apa kata orang".

Kita tidak seperti anak-anak dengan kepolosan hati mereka; kita kalah jauh dari mereka.

Ada alasan istimewa mengapa saya menyukai anak-anak. Bagi saya, mereka adalah potret nyata betapa apa yang dilakukan ya dilakukan saja dulu. Menangis ya menangis saja. Marah ya marah saja. Sedih ya sedih saja. Pun tertawa ya tertawa saja. 

Singkat kata: Mereka tidak peduli "apa kata orang".

Semuanya mereka lakukan—dan mereka rasakan—dengan "secukupnya". Boleh jadi mereka merasakannya dalam bilangan menit—atau jam, setelah itu sudah. Mereka tidak memendamnya berhari-hari.  Mereka melenggang tanpa beban—tanpa tekanan. 

Orang-orang dewasa lah yang menjadikan mereka berbeda pada akhirnya.

Orang dewasa? 

Ya, itu benar!

Adalah kita yang merasa dewasa ini yang melakukan itu. Kita yang merasa sok—paling—tahu apa yang terbaik; kita yang merasa paling punya banyak pengalaman dalam hidup yang akhirnya mengubah mereka.

Namun, di sisi yang berbeda, saya berani mengatakan kita adalah manusia dewasa yang acapkali gagal mengelola rasa marah, sedih dan kecewa—atau dengan kata lain, kita manusia dewasa ini lah yang sebenarnya sedang dan selalu berjuang "memintal" kebahagiaan—bukan mereka.

Memintal kebahagian? 

Ya, tepat sekali.

Mau bukti?

Akses—buka media sosial—internet yang kau punya.

Melihat orang lain—atau teman atau malah tetangga sebelah rumah—lebih cantik (atau tampan), lebih pandai, lebih berpendidikan, lebih kaya atau minimal lebih memiliki apa yang kau tak punya sekarang.

Pendek kata terlalu memikirkan "lebih-lebih" yang lainnya yang kemudian memunculkan sesuatu yang bergemuruh dalam dada; bikin sakit kepala. 

Bohong jika tidak ada sesuatu yang kau rasakan setelah kau membukanya selama ini. 

Bohong jika dia tak meninggalkan jejak apapun.

Hingga sampailah saya katakan: berselancar-selancar lah duhulu, lalu overthinking lah kemudian.

Overthinking, saya pribadi mengartikannya sebagai rasa tidak aman dari bentuk ketidaksiapan seseorang mengendalikan isi kepala. Bahkan cenderung mengada-ngada.

Pemantiknya beragam. Jika boleh saya kasih contoh mudahnya adalah kita bisa dengan gampangnya membandingkan diri sendiri dengan—pencapaian—orang lain. 

Atau bahkan—seolah—memaksakan keadaan diri sendiri hanya demi pengakuan.

Standar kita dan orang lain, kita tandingkan.

Imbasnya apa? 

Mulailah kita menyesali apa yang pernah terjadi dalam hidup, mudah tersinggung karena dibekap iri, seharusnya begini bukan begitu—hingga parahnya kita bahkan mudah pula menyamaratakan limit yang kita miliki terhadap orang lain.

Namun, jangan menjadi manusia dewasa yang naif untuk menghindari overthinking itu, Tuan dan Puan sekalian. Dia ada bukan untuk dihindari. Percuma.

Melainkan untuk dikelola; untuk diatasi—berdamai dengannya.

Jadikan dia pelecut semangat. 

Buat kau yang miskin kemampuan mari belajar mensyukuri keadaan lalu belajar menciptakan banyak pengalaman. 

Berharap  boleh, berlebihan jangan—atau berharap berlebihan boleh, tapi tolong kondisikan.

Karena kelak segala yang tidak enak yang dirasakan oleh hati dan pikiran tidak semata bisa diperban.

Tak kan pernah habis dunia hingga ke ujung batasnya, Tuan dan Puan sekalian. Maka laku menyederhanakan hidup yang dimulai dari menyerderhanakan pikiran adalah sebaik-baiknya pilihan. Cukup pada yang dibutuhkan dan kelola dengan baik segala macam keinginan.

Distraksi dan aksi mungkin tak terhindarkan—namun sebelum itu perlu diingat "apa kata orang" tak bisa memberi kita makan.

Tabik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun