Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Trik Sederhana Mengenal dengan Singkat Calon Mertua

20 Maret 2021   06:15 Diperbarui: 21 Maret 2021   09:39 1239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto seorang perempuan memegang buket bunga saat couple session pada sebuah lamaran. (Foto oleh Kazena Krista)

Perkara berhadapan dengan calon mertua saya sudah punya beberapa pengalaman sih, jadi jangan ditanya lagi bagaimana sensasinya. Tapi, dalam tulisan ini saya tidak mau buka-bukaan. 

Lagipula, memang sepenting apa sih kisah asmara saya untuk diketahui banyak orang? Karena, saya bukan artis yang pantas dikulik-kulik, yang jelas menyoal calon mertua saya agak sedikit sentimental. 

Ya, seperti orang-orang yang pernah punya cerita perihal bertandang ke rumah calon mertua, dag dig dug tentu ada. Gugup jangan ditanya. Sependek ingatan saya, telapak tangan saya pernah sampai mengeluarkan keringat—merembes di garis-garis telapak tangan—saking tak karuannya hati saya ketika itu, padahal saya bukan orang yang punya riwayat penyakit jantung atau paru-paru sebelumnya.

Saat itu, berulang kali si dia berusaha menenangkan dan menguatkan saya. Dari tatapannya seolah dia berusaha memberi saya stimulus agar bisa melewati malam yang amat menegangkan itu—setelah beberapa hari sebelumnya saya menolak mati-matian untuk setuju memenuhi undangan ayah dan ibunya untuk datang ke rumah dengan alasan belum siap—dengan baik. 

Kalau diingat-ingat kocak juga saya waktu itu. Seluruh kepercayaan diri saya sebagai manusia seolah lenyap. Meskipun saya bukan tipikal orang yang banyak bicara tetapi dalam kehidupan nyata, saya adalah orang yang selalu penuh dengan rasa percaya diri—kalau tidak ingin dikatakan narsis dan blak-blakan. Namun, tidak malam itu.

Jangan bingung, si dia yang saya maksud adalah salah satu mantan pacar saya dan yang saya uraikan di atas adalah pengalaman saya ketika diminta kedua orang tuanya bertandang ke rumah mereka.

Hush, kenapa jadi melebar begini sih? Bukankah saya tadi sudah bilang kalau kisah asmara saya ngga penting-penting amat?

Oke, baiklah, sebagai gantinya, bagaimana kalau saya lemparkan satu pertanyaan?

Pertanyaannya adalah, berapa lama waktu yang dibutuhkan seseorang untuk mengenali calon mertua sejak pertama kali berkenalan sebelum mengambil keputusan menikah—atau tidak?

Terkesan seperti menodong sekali kan pertanyaannya?

Tapi, memang itu tujuan saya.

Sekarang, coba jawab.

Jika tidak tahu dengan benar berapa waktu yang diperlukan, izinkan saya membagikan satu trik agar mudah menjawabnya. Namun sebelumnya, saya harap jangan lekas diambil hati dan sewot di pojokan setelah nanti saya paparkan ya? 

Saya hanya ingin semua dari kita berubah menjadi insan-insan yang realistis dalam menyikapi sesuatu—terutama dalam hal asmara yang muaranya (baca: berharap) jenjang pernikahan.

Karena, berkaca dari pengalaman lah sebenarnya saya berani membagi trik ini.

Saya ulangi sekali lagi pertanyaannya: berapa lama waktu yang dibutuhkan seseorang untuk mengenali calon mertua sejak pertama kali berkenalan sebelum mengambil keputusan menikah—atau tidak?

Ini bukan pertanyaan yang main-main; ini pertanyaan krusial.

Jawaban dari pertanyaan ini yang menentukan bagaimana kisah asmara seseorang berakhir!

Dan perhitungan waktunya dapat diambil setelah seseorang itu berhasil bertatap muka dengan calon mertuanya untuk kali pertama. Karena mengenal calon mertua dari obrolan dengan pasangan akan beda ceritanya dengan mengenal calon mertua setelah bertemu dengan mereka secara langsung. 

Jadi begini, saya boleh katakan, seseorang yang telah berhasil berkenalan dengan calon mertuanya selanjutnya dia harus tegas menentukan sikap; dia harus tancap "gas". 

Trik sederhana yang saya maksud adalah segera tentukan tenggat!

Dengan kata lain, dia harus menentukan sendiri berapa lama waktu pendekatan itu berproses (baca: mengenal lebih jauh sang calon mertua)—terlepas calon mertuanya menujukkan sikap yang "very welcoming" atau tidak terhadapnya sejak perkenalan pertama. 

Semisal, seseorang memakai (tenggat) waktu katakanlah dalam enam bulan. Jadi, di dalam waktu enam bulan itu, dia harus belajar dan mempelajari siapa calon mertuanya dengan baik. 

Cara-caranya beragam, seperti: jadwalkan kunjungan berapa kali dalam sebulan untuk membangun jumlah intensitas pertemuan, gali obrolan, bangun kedekatan, bicarakan hobi dan kesukaan dan lain sebagainya. Di dalam waktu enam bulan itu pula seseorang akan tahu bagaimana respon mereka (baca: calon mertunya).

Libatkan pula pasangan untuk tahu bagaimana respon calon mertua dalam menilai. 

Itu jika bicara tenggat enam bulan. Tiap individu mungkin memiliki tenggat yang berbeda dengan estimasi yang berbeda pula. Sila tentukan sendiri limit tenggatnya berapa lama.

Ini menjadi penting jika mengingat pernikahan adalah bukan hanya menyatukan dua orang manusia namun bersatunya juga dua keluarga—dan kedua orang tua pasangan adalah inti dari yang saya maksudkan. 

Penilaian (dan keputusan) calon mertua sejatinya adalah cara bagaimana mengambil anak kesayangan mereka tersebut dari sisi mereka.

Lalu pertanyaannya, jika tenggat yang sudah ditentukan itu (baca: semisal enam bulan) berakhir apa lagi yang harus dilakukan?

Ini pertanyaan retoris sebenarnya. Namun, jawabannya kemungkinan cuma ada dua: jika calon mertua setuju terhadap hubungan yang dijalani anaknya (dan pasangannya tersebut), maka tenggat waktu yang telah dilewati itu akan ditutup dengan pembahasan lain yang mungkin jauh lebih serius (karena melibatkan keluarga besar) yakni berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyiapkan sebuah pernikahan—namun jika calon mertua merasa sebaliknya, maka mulailah memikirkan kemungkinan "lain" sekalipun itu tidak enak untuk dikira-kira.

Maksud saya...akhirilah jika memang dirasa mustahil untuk dilanjutkan. Saya berkata seperti ini, bukan berarti saya mengamini sebuah perpisahan.

Sekali lagi ini hanyalah trik ala saya. Trik yang menggunakan tenggat yang sejatinya mengajarkan kita untuk tidak membuang-buang waktu lebih banyak sekalipun pada prosesnya telah mengerahkan daya upaya dan daya juang.

Perihal jodoh memang siapa yang tahu. Tapi, perihal menikah bisa direncanakan. Mencintai pasangan memang melibatkan perasaan. Tapi, restu calon mertua begitu menentukan.

Tabik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun