Saya termasuk perempuan yang kebal dengan pertanyaan "kapan nikah?" dari orang yang—dengan serius atau sekadar iseng—bertanya pada saya. Ssstttt...bagi saya pernikahan adalah urusan yang super-duper penting dengan label serius pake "banget". Saya tidak mau salah menjatuhkan "pilihan" sekalipun saya sudah punya calon pasangan.
(Hmm...semoga calon pasangan saya tidak merasa baper setelah membaca tulisan saya ini. Krik...krik...)
Sebagai perempuan dengan segala kehati-hatiannya, saya selalu tak henti-hentinya melakukan screening dalam hal apapun menyangkut persoalan menikah dan pernikahan (beserta dengan segala hal yang termasuk di dalamnya) di tiap ada kesempatan.
Apalagi jika itu dibenturkan dengan paham feminisme yang beberapa tahun ini pelan-pelan saya pelajari.
Kita sudah tahu bersama feminisme adalah paham yang lebih banyak berbicara soal kesetaraan gender; tentang bagaimana segala hal dalam lini kehidupan harus dipandang adil dan tidak berat sebelah, baik di ranah privat ataupun di ranah publik—dan pernikahan berbicara (serta menitikberatkan) ragam persoalan di ranah privat dalam bentuk sebuah keluarga.
"Memacari" seorang laki-laki seumur hidup dalam sebuah ikatan pernikahan buat seorang feminis seperti saya gampang-gampang susah. Letak masalahnya ada di-mix and match yang seringkali susah dicocokkan.
Butuh lebih banyak kompromi dan negosiasi sebelum pernikahan terwujud. Diperlukan lebih banyak obrolan seputar "batasan-batasan" di antara dua individu beserta solusi apa yang bisa diambil untuk mengatasinya.
Tapi, dari sekian banyak kriteria (dalam cakupan luas terhadap apa yang diperjuangkan oleh para feminis) dalam sebuah pernikahan, saya mencoba merangkumnya dalam tiga kriteria dasar laki-laki yang suami-able banget seperti berikut:
#1 Suami-able dari segi finansial.
Salah satu alasan laki-laki berpikir dengan matang (kalau tidak mau dikatakan beribu-ribu kali) sebelum memutuskan menikah adalah faktor finansial pasca menikah.
Pemahaman—harus menjadi—"tulang punggung" atau "pejuang nafkah" yang diterima laki-laki lah (karena telah menjadi tradisi dari pemahaman yang salah kaprah) yang menjadi alasan terberat mereka.
Dalam pemikiran laki-laki, setelah menikah tanggung jawab mereka akan double, apalagi setelah dikaruniai anak-anak—terlepas pasangan mereka seorang perempuan pekerja atau bukan.
Pemahaman ini tidak main-main membangun rasa insecure dalam diri laki-laki. Sejak dini “harga” diri mereka dibangun untuk selalu tangguh, untuk selalu kuat, untuk selalu bisa menyediakan segala kebutuhan keluarganya (apalagi jika itu konteksnya pasca hari-h pernikahan—terlepas pasangannya seorang pekerja atau tidak sebelumnya).
Mereka dituntut untuk selalu menjadi "pahlawan" dalam perannya sebagai pemimpin (terlebih sebagai kepala rumah tangga); laki-laki seolah tabu untuk terlihat lemah—alih-alih diizinkan menangis—sekalipun dalam kondisinya yang sedang tidak baik-baik saja.
Ini pada akhirnya dibawa pula oleh seorang laki-laki dalam hubungan yang akan atau telah dijalaninya (baca: pernikahan)—bahkan akibat insecure tersebut tak sedikit laki-laki yang meminta pasangannya berhenti bekerja (jika pasangannya yang sebelum menikah adalah memang seorang perempuan pekerja).
Padahal itu tak jadi pembenaran perempuan untuk dipaksa mengalah for the sake of (dengan alasan) menghormati suami lalu memintanya menjadi ibu rumah tangga.
Saya bisa memberi garansi, tak semua perempuan yang sudah bekerja sebelumnya mau melakukan ini; mau dengan rela menjadi ibu rumah tangga, apalagi jika perempuan itu benar-benar mencintai profesi atau pekerjaan yang ia lakoni tersebut.
Di mata feminis seperti saya, laki-laki yang suami-able itu adalah laki-laki yang tidak sungkan diajak berdiskusi tentang masalah finansial; laki-laki yang suami-able itu laki-laki yang tidak mudah lecet "harga" dirinya. Jika hanya gara-gara finansialnya tidak terlalu "mampu" membutuhi tiap kebutuhan nantinya, perempuan (baca: isteri atau calon isteri) yang bijak akan ikut memikirkan jalan keluarnya—apapun itu caranya.
Laki-laki yang suami-able yang keren di mata feminis seperti saya itu adalah laki-laki yang selalu bisa memberikan pilihan untuk bekerja atau tidak bagi pasangannya dan menghargai pilihan pasangannya itu. Karena bekerja bagi perempuan tak melulu untuk berpenghasilan (baca: ikut menopang ekonomi keluarga), tapi juga sebagai bentuk beraktualisasi diri.
Urusan finansial (keuangan baik sebagai individu atau keuangan bersama) bisa dibicarakan bukan? Bagi saya sendiri, pengumpulan "harta" duniawi bisa disikapi dengan dewasa antar kedua belah pihak. Win-win solution boleh dipraktekkan. It takes to do tango!
#2 Suami-able dari segi mengurus (pekerjaan) rumah tangga.
Kita sudah sering melihat betapa tidak sehatnya iklan-iklan yang ada di televisi— tentang urusan mencuci piring harus dikerjakan oleh perempuan, urusan lezat atau tidaknya makanan di meja makan dipercayakan pada perempuan, tentang bersih atau tidaknya pakaian yang akan digunakan bergantung pada pilihan deterjen yang digunakan perempuan—dan masih banyak lagi.
Dari sini jelas bahwa segala hal yang menyangkut urusan (pekerjaan) rumah tangga dibebankan pada perempuan. Saya tidak menyinggung atau mempermasalahkan perempuan yang dengan legowo melakukannya dalam rumah tangga yang dijalaninya. Itu dikembalikan pada tiap individu yang menyikapi.
Namun, faktanya acapkali segala cekcok rumah tangga yang awalnya kecil berubah besar (serta beranak-pinak dan merembet ke hal-hal lain) diawali akibat kelelahan (fisik dan psikologi) yang dialami perempuan karena mengurus printilan urusan (pekerjaan) rumah tangga yang saya sebutkan.
Ini jadi alasan konkret pula betapa perempuan tidak punya waktu lagi memperhatikan dirinya sendiri; merawat diri adalah nomor sekian bagi seorang perempuan, yang penting tugas domestik rumah tangga tuntas dikerjakan (baca: perempuan yang telah menikah)—me time adalah harga mahal.
Pertanyaannya adalah, mengapa laki-laki jarang turut andil menyoal ini?; atau mengapa laki-laki yang bersedia melakukannya begitu dielu-elukan dan dianggap "sesuatu" banget (dianggap keren) oleh kaum perempuan atau ibu-ibu?—atau vice versa lalu dicap dan dianggap takut isteri.
Tanya kenapa? Sistem patriarki telah melakukan tugasnya dengan baik bukan?
Dari kacamata feminis sepeti saya, laki-laki yang suami-able itu ya...yang mau ikut bersama-sama ngurusin urusan (pekerjaan) rumah tangga; yang dengan kesadaran penuh mengerjakan sesuatu tanpa diminta; yang dikerjakan karena memang mampu untuk dikerjakan—bukan karena pemahaman pekerjaan itu diikat oleh sekat suatu gender tertentu.
Laki-laki yang suami-able dari kacamata feminis seperti saya adalah laki-laki yang tak melulu harus dilayani segala kebutuhannya—melainkan dilakukan bersama.
#3 Suami-able dari segi pengasuhan anak.
Ini menjadi penting untuk dimasukkan sebagai kriteria laki-laki yang suami-able dari kacamata seorang feminis seperti saya.
Saya pribadi lelah dengan pola pengasuhan yang tidak benar-benar dua arah ini. Gap yang terlalu nyata sebenarnya bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari.
Pola pengasuhan lebih banyak dibebankan pada perempuan. Apa-apa yang menyangkut anak dilakukan perempuan—bahkan hingga ke hal-hal kecil sekalipun, perempuan yang ambil peran.
Tidak heran bukan jika kebanyakan seorang ayah (baca: tidak semua laki-laki) jarang bisa berkomunikasi dari hati ke hati dengan anak-anaknya seiring bertambahnya usia mereka (komunikasi yang sulit nyambung?)—atau sebaliknya, anak-anak akan canggung jika harus memulai obrolan dengan ayahnya?
Bagi saya peran laki-laki sangat besar diperlukan untuk merawat dan mengasuh anak (baik dari segi fisik ataupun psikologis) layaknya perempuan; layaknya peran seorang ibu. Karena mengasuh anak adalah pekerjaan tim; kerja bersama antara suami dan isteri; antara ayah dan ibu.
Dari kacamata feminis seperti saya, laki-laki yang suami-able itu ya...yang mau diajak turut andil mengasihi dan mengasuh anak bersama—benar-benar bersama—bahkan hingga ke hal-hal kecil sekalipun seperti ganti popok anak, beli pakaian anak-anak, ikut memikirkan makanan dan vitamin apa yang baik untuk dikonsumsi agar tumbuh-kembang anak berjalan dengan baik—hingga (bukan tidak mungkin) merasa cemas ketika si anak sakit (lalu terbangun di tengah malam?)—dan lain sebagainya.
Jika tiga hal yang saya sebutkan tadi bisa terpenuhi, saya yakin tugas antar suami-isteri bisa jauh lebih ringan; niscaya segala hak dan kewajiban tak perlu diributkan.
Saling terbuka dan saling bantu adalah "koentji" dan berbagi peran yang sesungguhnya adalah bentuk tindakan nyata—dan jangan lupa juga tanggalkan ego dan rasa baperan.
Karena sejatinya—bagi feminis seperti saya—dasar dari sebuah pernikahan adalah penghormatan dan kasih sayang.
PS: Halo, sayang, jadi sudah tahu kan bocoran singkat kriteria laki-laki yang suami-able banget menurut aku gimana? :)
Salam sayang...
Disclaimer: Ini adalah pandangan subyektif dari diri saya pribadi. Saya tidak bermaksud memberikan sugesti atas pandangan saya terhadap orang lain—alih-alih memaksakan pandangan saya tersebut. Tiap orang memiliki limit pandangan masing-masing menyoal ini. Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H