Pertanyaannya adalah, mengapa laki-laki jarang turut andil menyoal ini?; atau mengapa laki-laki yang bersedia melakukannya begitu dielu-elukan dan dianggap "sesuatu" banget (dianggap keren) oleh kaum perempuan atau ibu-ibu?—atau vice versa lalu dicap dan dianggap takut isteri.
Tanya kenapa? Sistem patriarki telah melakukan tugasnya dengan baik bukan?
Dari kacamata feminis sepeti saya, laki-laki yang suami-able itu ya...yang mau ikut bersama-sama ngurusin urusan (pekerjaan) rumah tangga; yang dengan kesadaran penuh mengerjakan sesuatu tanpa diminta; yang dikerjakan karena memang mampu untuk dikerjakan—bukan karena pemahaman pekerjaan itu diikat oleh sekat suatu gender tertentu.
Laki-laki yang suami-able dari kacamata feminis seperti saya adalah laki-laki yang tak melulu harus dilayani segala kebutuhannya—melainkan dilakukan bersama.
#3 Suami-able dari segi pengasuhan anak.
Ini menjadi penting untuk dimasukkan sebagai kriteria laki-laki yang suami-able dari kacamata seorang feminis seperti saya.Â
Saya pribadi lelah dengan pola pengasuhan yang tidak benar-benar dua arah ini. Gap yang terlalu nyata sebenarnya bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari.
Pola pengasuhan lebih banyak dibebankan pada perempuan. Apa-apa yang menyangkut anak dilakukan perempuan—bahkan hingga ke hal-hal kecil sekalipun, perempuan yang ambil peran.
Tidak heran bukan jika kebanyakan seorang ayah (baca: tidak semua laki-laki) jarang bisa berkomunikasi dari hati ke hati dengan anak-anaknya seiring bertambahnya usia mereka (komunikasi yang sulit nyambung?)—atau sebaliknya, anak-anak akan canggung jika harus memulai obrolan dengan ayahnya?
Bagi saya peran laki-laki sangat besar diperlukan untuk merawat dan mengasuh anak (baik dari segi fisik ataupun psikologis) layaknya perempuan; layaknya peran seorang ibu. Karena mengasuh anak adalah pekerjaan tim; kerja bersama antara suami dan isteri; antara ayah dan ibu.
Dari kacamata feminis seperti saya, laki-laki yang suami-able itu ya...yang mau diajak turut andil mengasihi dan mengasuh anak bersama—benar-benar bersama—bahkan hingga ke hal-hal kecil sekalipun seperti ganti popok anak, beli pakaian anak-anak, ikut memikirkan makanan dan vitamin apa yang baik untuk dikonsumsi agar tumbuh-kembang anak berjalan dengan baik—hingga (bukan tidak mungkin) merasa cemas ketika si anak sakit (lalu terbangun di tengah malam?)—dan lain sebagainya.
Jika tiga hal yang saya sebutkan tadi bisa terpenuhi, saya yakin tugas antar suami-isteri bisa jauh lebih ringan; niscaya segala hak dan kewajiban tak perlu diributkan.Â
Saling terbuka dan saling bantu adalah "koentji" dan berbagi peran yang sesungguhnya adalah bentuk tindakan nyata—dan jangan lupa juga tanggalkan ego dan rasa baperan.