Dalam pemikiran laki-laki, setelah menikah tanggung jawab mereka akan double, apalagi setelah dikaruniai anak-anak—terlepas pasangan mereka seorang perempuan pekerja atau bukan.
Pemahaman ini tidak main-main membangun rasa insecure dalam diri laki-laki. Sejak dini “harga” diri mereka dibangun untuk selalu tangguh, untuk selalu kuat, untuk selalu bisa menyediakan segala kebutuhan keluarganya (apalagi jika itu konteksnya pasca hari-h pernikahan—terlepas pasangannya seorang pekerja atau tidak sebelumnya).
Mereka dituntut untuk selalu menjadi "pahlawan" dalam perannya sebagai pemimpin (terlebih sebagai kepala rumah tangga); laki-laki seolah tabu untuk terlihat lemah—alih-alih diizinkan menangis—sekalipun dalam kondisinya yang sedang tidak baik-baik saja.
Ini pada akhirnya dibawa pula oleh seorang laki-laki dalam hubungan yang akan atau telah dijalaninya (baca: pernikahan)—bahkan akibat insecure tersebut tak sedikit laki-laki yang meminta pasangannya berhenti bekerja (jika pasangannya yang sebelum menikah adalah memang seorang perempuan pekerja).
Padahal itu tak jadi pembenaran perempuan untuk dipaksa mengalah for the sake of (dengan alasan) menghormati suami lalu memintanya menjadi ibu rumah tangga.
Saya bisa memberi garansi, tak semua perempuan yang sudah bekerja sebelumnya mau melakukan ini; mau dengan rela menjadi ibu rumah tangga, apalagi jika perempuan itu benar-benar mencintai profesi atau pekerjaan yang ia lakoni tersebut.
Di mata feminis seperti saya, laki-laki yang suami-able itu adalah laki-laki yang tidak sungkan diajak berdiskusi tentang masalah finansial; laki-laki yang suami-able itu laki-laki yang tidak mudah lecet "harga" dirinya. Jika hanya gara-gara finansialnya tidak terlalu "mampu" membutuhi tiap kebutuhan nantinya, perempuan (baca: isteri atau calon isteri) yang bijak akan ikut memikirkan jalan keluarnya—apapun itu caranya.
Laki-laki yang suami-able yang keren di mata feminis seperti saya itu adalah laki-laki yang selalu bisa memberikan pilihan untuk bekerja atau tidak bagi pasangannya dan menghargai pilihan pasangannya itu. Karena bekerja bagi perempuan tak melulu untuk berpenghasilan (baca: ikut menopang ekonomi keluarga), tapi juga sebagai bentuk beraktualisasi diri.
Urusan finansial (keuangan baik sebagai individu atau keuangan bersama) bisa dibicarakan bukan? Bagi saya sendiri, pengumpulan "harta" duniawi bisa disikapi dengan dewasa antar kedua belah pihak. Win-win solution boleh dipraktekkan. It takes to do tango!
#2 Suami-able dari segi mengurus (pekerjaan) rumah tangga.
Kita sudah sering melihat betapa tidak sehatnya iklan-iklan yang ada di televisi— tentang urusan mencuci piring harus dikerjakan oleh perempuan, urusan lezat atau tidaknya makanan di meja makan dipercayakan pada perempuan, tentang bersih atau tidaknya pakaian yang akan digunakan bergantung pada pilihan deterjen yang digunakan perempuan—dan masih banyak lagi.
Dari sini jelas bahwa segala hal yang menyangkut urusan (pekerjaan) rumah tangga dibebankan pada perempuan. Saya tidak menyinggung atau mempermasalahkan perempuan yang dengan legowo melakukannya dalam rumah tangga yang dijalaninya. Itu dikembalikan pada tiap individu yang menyikapi.
Namun, faktanya acapkali segala cekcok rumah tangga yang awalnya kecil berubah besar (serta beranak-pinak dan merembet ke hal-hal lain) diawali akibat kelelahan (fisik dan psikologi) yang dialami perempuan karena mengurus printilan urusan (pekerjaan) rumah tangga yang saya sebutkan.
Ini jadi alasan konkret pula betapa perempuan tidak punya waktu lagi memperhatikan dirinya sendiri; merawat diri adalah nomor sekian bagi seorang perempuan, yang penting tugas domestik rumah tangga tuntas dikerjakan (baca: perempuan yang telah menikah)—me time adalah harga mahal.