Hanya, itu tidak ada apa-apanya selama tidak ada kalimat-kalimat yang terasa bagai nyinyiran yang mampir di telinga saya. Mau tahu, salah satunya itu apa?Â
Salah satu contohnya: "Ssst...Fotografernya cewek!"—apalagi itu diucapkan dengan nada pelan nyaris bisik-bisik di antara dua atau sekelompok orang yang sedang mengobrol.
Sedikit banget sih, cuma tiga kata. Tapi, yakinlah itu cukup membuat pikiran saya menebak-nebak apa maksudnya.
Pilihannya cuma dua kan: mereka seolah ingin menunjukkan kekaguman terhadap pekerjaan yang saya jalani—karena memang masih terbilang jarang fotografer pernikahan dilakukan oleh seorang perempuan—atau; mereka menyepelekan saya sebagai fotografer karena saya seorang perempuan!
Tetapi, ketika perasaan-perasaan sumbang itu tiba-tiba muncul, saya akan lekas menamengi diri saya dengan langsung memberi sugesti pada diri sendiri bahwa tak ada yang salah saat saya menjatuhkan pilihan menjadi seorang fotografer yang melibatkan banyak orang saat dilakukan (baca: fotografer pernikahan)—dan tentu saja, saya pun tidak salah hanya karena saya sebagai perempuan dalam melakoninya.Â
Bagi saya, menolak baper adalah jalan ninja. Jangan kasih celah, sekalipun itu sedikit.
Sebagai perempuan dan memiliki hobi fotografi mungkin menjadi fotografer pernikahan boleh kau jadikan pilihan. Tapi—tentu ada tapinya dan ini penting untuk saya katakan—asal bukan untuk gaya-gayaan. Mengapa demikian?
Ini buktinya:
1. Sabar
Jadi fotografer pernikahan itu harus sabar. Karena ini adalah kunci utama. Banyak hal-hal teknis dan non teknis yang mungkin akan kau temui di lapangan semisal human error yang ada kaitannya dengan tools yang akan digunakan meskipun jauh-jauh hari (atau bahkan beberapa jam sebelum acara dimulai) kau sudah dengan percaya diri memberi garansi "well prepared" untuk semua itu.