Kian dinamisnya perkembangan dunia kian banyak pula bidang pekerjaan di sendi-sendi kehidupan yang diisi oleh perempuan. Mulai yang biasa dan lazim dikerjakan hingga yang—bahkan dulu—tak pernah sama sekali dibayangkan.Â
Dewasa ini, perempuan hadir dalam wujud-wujud perempuan tangguh yang menghiasi ragam jenis profesi dan pekerjaan, mulai dari level atas sekaliber CEO atau Direktur Utama—hingga menjadi buruh cuci harian yang sebagian besar sebelah mata dipandang orang. Semua ada; semua bisa dilakukan oleh perempuan seolah menegaskan bahwasanya perempuan lah sejatinya yang mengendong kehidupan.
Bicara bekerja, tak bisa dipungkiri banyak faktor yang melatarbelakangi perempuan dalam bekerja. Boleh jadi di antaranya untuk memenuhi kebutuhan hidup atau sebagai bentuk beraktualisasi—atau malah keduanya.
Dua hal ini pula yang mungkin jadi pemicu mengapa perempuan memilih untuk tidak lekas menikah (ini tidak berlaku bagi perempuan yang dengan sadar memilih menikah muda) meski kalau boleh jujur pada akhirnya selalu akan ada yang menjadi tekanan atas diri perempuan dalam mempertahankan pilihannya tersebut.
Bagi perempuan, menikah tak semata awal dari membangun peradaban; menyiapkan generasi-generasi di masa depan. Menikah menjadi awal meski setelahnya (baca: hari-hari menjalani pernikahan) akan menimbulkan banyak pergolakan.
Sekarang, mari bicarakan alasan klasik perempuan pekerja yang telah menikah: punya anak.
Alasan inilah yang kerap secara langsung atau pun tidak yang membatasi ruang gerak seorang perempuan dan itu tak jarang membuat perempuan dihadapkan pula pada dilema yang sebenarnya tak ingin ia pilih: berhenti bekerja atau tidak.
Tak semua perempuan beruntung untuk tetap bekerja terlebih lagi setelah melahirkan dan—atau—memiliki anak. Tak ayal berhenti bekerja adalah satu-satunya jalan.
Berikut 5 hal (yang mungkin mendominasi) yang jadi alasan mengapa perempuan memutuskan untuk berhenti bekerja setelah memiliki anak.
#1 Â Ingin dekat dengan anak
Tak bisa dipungkiri tumbuh kembang anak adalah yang paling menyita perhatian seorang perempuan dengan identitasnya sebagai seorang ibu, terlepas apakah si buah hati kelahirannya direncanakan atau tidak. Berada di dekat buah hati dan memastikannya aman serta terpenuhi kebutuhannya, membuat seorang perempuan tenang.
#2  Sistem—bantu—pola pengasuhan
Buat perempuan pekerja bukan perkara mudah mencari support system yang benar-benar bisa dipercaya dalam bentuk penjagaan dan pengasuhan untuk sang anak. Sekalipun ada baby sitter atau keluarga dekat yang bisa dimintai tolong untuk mengganti perannya disaat ia tak bisa melakukannya pada saat itu, tetap saja selalu ada rasa was-was yang kerap menghantui tiap perempuan ketika ia bekerja.
#3 Â Tekanan sosial
Terkadang berada di lingkungan masyarakat (termasuk dalam keluarga besar) dengan segala kompleksitasnya membuat seorang perempuan menjadi harus pandai-pandai menempatkan diri—alih-alih merasa terdoktrin. Memiliki anak kecil (bayi/balita) tetapi memilih tetap bekerja akan menjadi gunjingan yang berujung nyinyiran—yang bisa memberatkan psikologis seorang perempuan—dan tak semua perempuan siap dengan hal tersebut sehingga memilih berhenti bekerja adalah jalan final.
#4 Â Lingkungan kerja yang tidak berpihak
Tak semua lingkungan kerja ramah terhadap perempuan yang telah memiliki anak alih-alih memberi perhatian lebih seperti menyediakan ruang laktasi (untuk menyusui langsung atau pumping jika si anak masih di bawah usia dua tahun) atau memberikan sedikit kelonggaran waktu bagi perempuan terhadap hal-hal menyoal anak semisal jika sang anak sakit atau rewel karena ingin dekat dengan ibunya.
#5 Â Pasangan yang ogah berbagi peran
Seolah empat hal tadi belum cukup, faktor pasangan juga menjadi alasan telak seorang perempuan untuk berhenti bekerja.
Budaya patriarki adalah penyusup dan kerap mencuri kesempatan seorang perempuan untuk merasakan kebahagiaan lebih banyak. Kebanyakan perempuan tak menyadari itu atau menyadarinya tapi memilih berdamai terhadapnya.
Pasangan yang sulit untuk diajak bekerja sama—alih-alih menolak sama sekali—dalam mengasuh anak bersama sehingga membebankan pengasuhan sepenuhnya pada perempuan sebagai ibu adalah salah satu alasan mengapa perempuan memilih berhenti bekerja. Sudah dibekap lelah fisik ditimpa pula lelahnya psikologis yang membuat batinnya terkikis. Lengkap!
Di luar sana, banyak perempuan yang menikmati kelelahannya seorang diri dan apabila dihadapkan pada pilihan di antara bekerja atau anak pada akhirnya tak sedikit perempuan—yang memang mencintai profesi atau pekerjaannya—memilih menyerah lalu memutuskan berhenti bekerja.
Pertanyaannya sekarang, mengapa selalu perempuan yang harus merasakan dilema? Mengapa harus perempuan pula yang dipaksa untuk memilih?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H