Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Anak, Alasan Klasik Perempuan Berhenti Bekerja, Benarkah?

25 Februari 2021   22:45 Diperbarui: 26 Februari 2021   13:53 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua perempuan pekerja yang sedang serius bekerja. (Sumber Unsplash.com/foto oleh Gabrielle Henderson)

#2   Sistem—bantu—pola pengasuhan

Buat perempuan pekerja bukan perkara mudah mencari support system yang benar-benar bisa dipercaya dalam bentuk penjagaan dan pengasuhan untuk sang anak. Sekalipun ada baby sitter atau keluarga dekat yang bisa dimintai tolong untuk mengganti perannya disaat ia tak bisa melakukannya pada saat itu, tetap saja selalu ada rasa was-was yang kerap menghantui tiap perempuan ketika ia bekerja.

Foto seorang ibu yang menggendong anaknya (Sumber Unsplash.com/foto oleh Dakota Corbin)
Foto seorang ibu yang menggendong anaknya (Sumber Unsplash.com/foto oleh Dakota Corbin)

#3   Tekanan sosial

Terkadang berada di lingkungan masyarakat (termasuk dalam keluarga besar) dengan segala kompleksitasnya membuat seorang perempuan menjadi harus pandai-pandai menempatkan diri—alih-alih merasa terdoktrin. Memiliki anak kecil (bayi/balita) tetapi memilih tetap bekerja akan menjadi gunjingan yang berujung nyinyiran—yang bisa memberatkan psikologis seorang perempuan—dan tak semua perempuan siap dengan hal tersebut sehingga memilih berhenti bekerja adalah jalan final.

#4   Lingkungan kerja yang tidak berpihak

Tak semua lingkungan kerja ramah terhadap perempuan yang telah memiliki anak alih-alih memberi perhatian lebih seperti menyediakan ruang laktasi (untuk menyusui langsung atau pumping jika si anak masih di bawah usia dua tahun) atau memberikan sedikit kelonggaran waktu bagi perempuan terhadap hal-hal menyoal anak semisal jika sang anak sakit atau rewel karena ingin dekat dengan ibunya.

#5   Pasangan yang ogah berbagi peran

Seolah empat hal tadi belum cukup, faktor pasangan juga menjadi alasan telak seorang perempuan untuk berhenti bekerja.

Budaya patriarki adalah penyusup dan kerap mencuri kesempatan seorang perempuan untuk merasakan kebahagiaan lebih banyak. Kebanyakan perempuan tak menyadari itu atau menyadarinya tapi memilih berdamai terhadapnya.

Pasangan yang sulit untuk diajak bekerja sama—alih-alih menolak sama sekali—dalam mengasuh anak bersama sehingga membebankan pengasuhan sepenuhnya pada perempuan sebagai ibu adalah salah satu alasan mengapa perempuan memilih berhenti bekerja. Sudah dibekap lelah fisik ditimpa pula lelahnya psikologis yang membuat batinnya terkikis. Lengkap!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun