Tapi, kalau memang terpaksa dan didesak oleh situasi serta keadaan, bagaimana?
Kita memang tidak bisa menutup kenyataan akan nyinyiran yang mengatakan jika semua guru mencari sumber penghasilan lain bisa jadi tidak akan ada lagi guru yang benar-benar berkualitas untuk mencetak generasi penerus bangsa yang cerdas lagi tangguh. Parahnya lagi jika penghasilan yang didapat lebih besar dari gajinya sebagai guru, mungkin tidak akan ada lagi orang yang bersedia menjadi guru. Suramlah masa depan negara kita kalau begitu!
Tapi, jika memang pada akhirnya harus seperti itu...
Saya tak bisa membayangkannya dan tak mau membayangkannya.
“Ngomong mah enak banget elu?!”
Pasti ada yang lagi nyinyir ke saya nih sekarang.
Intinya, menjalani profesi, apapun itu ya mbok dikerjakan dengan hati ikhlas, syukur-syukur memang berangkat dan dimulai dengan panggilan jiwa terhadap profesi itu. Duh, saya sudah seperti sedang menggurui sekarang, maafkan saya. Jangan kebanyakan mengeluh alih-alih memendamnya lama-lama.
Meromantisasi keluhan pada akhirnya akan menambah masalah baru. Lagi pula, jauh sebelum pilihan dijatuhkan, seharusnya seseorang sudah harus siap dengan konsekuensi yang akan menyertai ke depannya—di sinilah letak mengolah kematangan untuk siap mental: tangguh dan tahan banting.
Pilihannya cuma dua: siap dan bertahan selama apapun itu—dengan profesi yang dipilih tersebut—dengan menyiasatinya; atau tidak siap lalu tinggalkan dan beralih ke pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Lagi-lagi, sebenarnya ini soal perkara sejumlah nominal—dan martabat—yang diperjuangkan!
Inti dari intinya lagi, jangan mau jadi CPNS/PNS kalau bercita-cita mau jadi orang kaya meskipun dengan iming-iming banyak tunjangan termasuk jaminan hari tua. Sekadar untuk bertahan hidup boleh lah, itu juga tak selalu mulus, apalagi jika kalian sudah berumah tangga dan memiliki tanggungan anak yang tak cukup satu atau dua.
Jadi, realistis lah! Apapun profesinya.