Ih, kalau saya sih ogah. Apa penyebabnya? Agak subyektif sebenarnya. Pokoknya, tidak tertarik. Kalau bahasa India mah, nehi. Etapi, ini saya lho ya. Buat para pembaca sekalian yang masih pernah dan masih terus ingin berjuang, monggo dipersilakan.
Balik lagi ke profesi guru, saya sendiri sangat mengagumi sosok guru sebagai profesi berikut pengabdian yang ia lakoni. Saya pribadi, dekat sekali dengan lingkungan guru.Â
Saya menghabiskan masa remaja saya di lingkungan yang didominasi guru. Kakek dan nenek saya guru, paman dan bibi saya juga—bahkan almarhumah ibu saya juga pernah menjadi guru.Â
Jauh lebih dari itu, saya pun masih merawat cita-cita saya hingga detik ini yang ingin sekali menjadi seorang guru taman kanak-kanak dan memiliki taman kanak-kanak saya sendiri saking sukanya saya terhadap dunia pendidikan—ini boleh jadi karena saya suka anak-anak kali ya.
Ingat, saya maunya jadi guru, bukan CPNS/PNS.
Bicara gaji kecil (dalam hal ini, apa yang menimpa guru tersebut memang sangat ironi. Gaji yang diterimanya memang jauh di bawah layak) apapun profesi utama yang kita lakoni, sebenarnya bisa kita siasati jika memang—mau tidak mau, suka tidak suka—tujuannya motif ekonomi untuk kebutuhan hidup. Bukan apa-apa, saya juga sudah sering melihat faktanya di lapangan mengenai ini. Tak sedikit orang yang memiliki side job di luar pekerjaan utamanya dan itu berlaku untuk banyak profesi. Termasuk guru. Sah-sah saja tah.
Mungkin di luar sana ada seorang guru yang di luar profesinya menjadi guru juga mencari penghasilan tambahan dengan membuka toko kelontong di rumah. Atau ada pula yang memberi les privat dari bidang yang ia kuasai dengan baik. Bisa pula ada yang membuka toko konter pulsa kecil-kecilan—atau menjadi instruktur tari salsa atau rumba dan lain sebagainya. Who knows? Apapun selama bisa menghasilkan, ya dikerjakan, mungkin begitu pikir mereka.
Setali tiga uang, saya pun melakoni hal yang sama. Saya seorang Fotografer sekaligus Desainer Grafis meski saya akui pengalaman saya mendesain masih belum setinggi terbangnya elang yang mengangkasa. Saya juga bisa lah dikit-dikit menghasilkan duit dari menulis biarpun bukan termasuk orang yang jago-jago amat.
Ini lho yang saya katakan realistis. Lantas apa salah saya berkata demikian?
Saya sih tidak menyarankan siapapun yang berprofesi guru harus ikut turun gunung mencari sumber penghasilan tambahan. Tidak begitu juga cara mainnya bukan? Jika memang gaji yang didapat dirasa cukup, buat apa capek-capek: buang waktu dan tenaga.Â