Harga menjadi semakin menguat saat supplier membuat kesepakatan harga (kartel). Mereka melakukan kesepakatan juga terbatas pada ojek-ojek yang biasa mangkal di sekitar stasiun radius sampai 50 meter. Saya dapatkan ojek yang saya tumpangi memang posisinya agak jauh dari stasiun.
Saya sengaja berjalan kaki, keluar dari kerumunan, menghindari burung najar yang tengah berpesta di tengah penumpang yang panik. Tukang ojek stasiun Tanah Abang hari ini seperti “berkomplot melawan yang tak berdaya”, meminjam istilah , Tim Harford, dalam bukunya The Undercover Economist Exposing Why the Rich Are Rich, The Poor Are Poor and Why You Can Never Buy a Descent Used-Car.
Dalam prilaku kartel, harga terbangun melalui kesepakatan baik sembunyi atau terang-terangan. Dalam kasus ini, ojek-ojek Tanah Abang pasti membuat kartel harga terang-terangan. Tentu, mereka sadar, kartel harga yang super gila itu ada batas waktunya. Setidaknya sampai angkot 08 kembali beroperasi. Mereka yang berpuluh-puluh tahun menjadi tukang ojek menanggguk keuntungan besar saat ‘pesaing” nya” mogok jalan.
Apakah semua ojek yang mangkal di stasiun Tanah Abang happy menerapkan harga super tinggi tersebut? Tidak juga. Namun mereka tidak kuasa keluar dari kesepakatan. Menurut tukang ojek yang saya tumpangi, “resikonya babak belur kalau berkhianat di depan mereka! Pengkhianat kartel memang “merusak harga”.
“Tapi kalau kita yang motornya jelek gini Pak nggak mungkin dipilih penumpang! Jawabnya setengah berteriak di tengah kebisingan lalu lintas Tanah Abang-Harmoni. Ojek yang saya tumpangi memang motornya sama dengan tukang ojeknya sudah di atas kepala 5.
Ya, dalam Kartel selalu ada pengkhianat. Khususnya dia yang merasa marginal atau kebutuhan yang tidak maksimal seperti ojek-ojek yang motornya baru dapat pinjaman. Yang keluar dari kartel biasanya merasa cukup dengan keuntungan yang didapat, sama seperti tukang ojek yang saya tumpangi.
“Saya ngojek hanya iseng pak, anak saya yang full. Jadi saya tidak perlu ngoyo dan ngotot ngasih harga tinggi. Makanya saya mangkal agak jauh dari mereka”. Tukang ojek ini sadar tentang mekanisme harga, tentang kartel dan resiko berkhianat dan tentu ia lebih sadar tentang kebutuhan dan kekuasaannya.
Saat melewati kantor Wali Kota Jakarta Pusat, sang ojek menunjuk barisan angkot 08 yang melakukan demo. Menurutnya, para supir marah karena mereka ditilang oleh petugas dengan alasan berjalan bukan di jalur yang ditetapkan, di depan kantor wali kota Jakarta Pusat.
Padahal selama beberapa tahun jalur itu yang mereka gunakan dari Kota ke Tanah Abang. Semula jalur yang mereka lalui dari kota memutar di depan Juanda dan setneg atau di depan istana. Lalu dialihkan dan selalu melewati jalan di depan kantor Wali Kota Jakarta Pusat.
Kasihan memang. Lewat jalan mana lagi yang bisa mereka lalui. Semua serba mendadak dan tanpa ada perencanaan yang tepat bagaimana mengelola jalur trayek yang sudah sangat membantu masyarakat. Regulasi sering membuat kita dirampok oleh mereka yang memegang Kuasa Kelangkaan..