Mohon tunggu...
Ahmad Kaylani
Ahmad Kaylani Mohon Tunggu... -

Sedang berlatih menulis hal-hal kecil dan mudah, hal-hal yang sederhana dan bisa mendapatkan pengalaman baru dari pembaca

Selanjutnya

Tutup

Money

Ojek dan Kuasa Kelangkaan

30 Juli 2015   11:31 Diperbarui: 11 Agustus 2015   23:25 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Angkutan Kota No. 08 jurusan Tanah Abang-Kota tidak beroperasi hari ini (Kamis 30/07/2015). Ada beberapa armada yang mangkal di depan pintu stasiun Tanah Abang, namun tak nampak wajah sang supir. Angkot 08 yang biasanya berbaris sepanjang stasiun yang kini sudah lebih rapih dan tertib tinggal hitungan jari.  Kemana mereka?

Memang jangan khawatir.  Mengilangnya angkot membuat pekerja yang menggunakan komuter akan balik badan alias tidak ngantor. Ada banyak transportasi alternative atau bisa menjadi pilihan selain angkot. Ada taksi, bajaj dan tentu saja, ojek.

Pagi ini ojek-ojek seperti penguasa. Ia merangsek menawarkan jasa. Tak ada pilihan yag tersedia pagi ini. Memilih taksi bisa jadi terjangkau karena rata-rata para komuter berkantor di daerah yang sangat dekat dengan stasiun. Sebut saja Tanah Abang I, II dan III.

Sebut juga jalan Thamrin, jalan Merdeka Utara, Merdeka Selatan dan agak jauh gambir atau pasar baru. Tetapi menggunakan taksi sama saja dengan “menyandera diri” khususnya bagi yang jam kantornya sudah “injure time”.   

Naik bajaj? Masih agak lumayan, terlebih kalau bersama teman. Bisa sharing ongkos atau bisa numpang alias gretong. Tetapi bajaj tak pernah menetap disebuah lokasi di mana ojek begitu kuat mendominasi. Jadi bajaj bukanlah pilihan yang bisa mengobati kepanikan karena hilangnya angkot 08 dari peredaran.

Nah, disinilah  ojek yang kini  punya kuasa. Ojek memenuhi semua persyaratan yangh dibutuhkan saat calon penumpang didera  kepanikan. Ojek bisa sendiri tanpa harus menunggu penumpang lain. Ojek juga bisa menelusuri gang-gang kecil yang di Jakarta sering menjadi misteri. Ojek punya kuasa, penumpang panik punya derita. Di mana masalahnya?

Ojek hari ini di stasiun Tanah Abang memiliki Kuasa Kelangkaan. Saya pun harus melakukan pilihan yang rasional, memilih ojek. Namun apa yang terjadi? Harga atau ongkosnya melambung tinggi. Naik ojek degan jurusan yang biasa hari ini naik menjadi 100 sampai 300 persen.

Dari Tanah Abang Ke sarinah yang biasa Rp 15.000-Rp 20.000 ditawarkan Rp 50.000- Rp 60.000. Harga tiba-tiba di mark up dan tukang ojek bersatu menyamakan harga yang mencekik. Jika anda ngedumel karena dipalak preman untuk menyerahkan uang Rp 1000 atau Rp 2000, hari ini anda “dipalak” lebih dari 1000 persen tanpa sedikit pun keinginan melapor ke polisi.

Jika hari ini ada 1000 penumpang menggunakan ojek yang dimark up rata-rata Rp 10.000 s/d Rp 20000 maka ada 10 s/d 20 juta hari ini terjadi perampokan penumpang panik oleh pemilik Kuasa Kelangkaan. Saya pagi ini juga menjadi korban, saya tidak panic, posisinya belum “injuri time”. Saya masih bisa memilih alternative, meski memang akhirnya memilih yang paling rasional, yaitu ojek. Saya belum pernah naik ojek dari Tanah Abang ke Harmoni. Tapi tukang ojek yang saya tumpangi meminta Rp 20.000, saya tawar ia menetapkan Rp 15.000. Tidak ada pilihan, “oke deal”.

Dari tukang ojek inilah informasi tentang harga yang di mark up oleh “kumpulan tukang ojek” stasiun Tanah Abang” hingga sangat “menggila” saya dapatkan.  Lalu mengapa Bapak ini seperti ogah menjadi “perampok musiman?

Inilah strateginya. Saat para tukang ojek menguasai pasar, memegang Kuasa Kelangkaan, harga menguat. Hukum pasar berlaku.  Saat permintaan tinggi (demand) penawaran (supply) terbatas, harga menjadi tinggi.

Harga menjadi semakin menguat saat supplier membuat kesepakatan harga (kartel). Mereka melakukan kesepakatan juga terbatas pada ojek-ojek yang biasa mangkal di sekitar stasiun radius sampai 50 meter.  Saya dapatkan ojek yang saya tumpangi memang posisinya agak jauh dari stasiun.

Saya sengaja berjalan kaki, keluar dari kerumunan, menghindari burung najar yang  tengah berpesta di tengah penumpang yang panik. Tukang ojek stasiun Tanah Abang hari ini seperti  “berkomplot melawan yang tak berdaya”,  meminjam istilah ,  Tim Harford, dalam bukunya The Undercover Economist Exposing Why the Rich Are Rich, The Poor Are Poor and Why You Can  Never Buy  a Descent Used-Car.

Dalam prilaku kartel, harga terbangun melalui kesepakatan baik sembunyi atau terang-terangan. Dalam kasus ini, ojek-ojek Tanah Abang pasti membuat kartel harga terang-terangan. Tentu, mereka sadar, kartel harga yang super gila itu ada batas waktunya. Setidaknya sampai angkot 08 kembali beroperasi.  Mereka yang berpuluh-puluh tahun menjadi tukang ojek menanggguk keuntungan besar saat ‘pesaing” nya” mogok jalan.

Apakah semua ojek yang mangkal di stasiun Tanah Abang happy menerapkan harga super tinggi tersebut? Tidak juga. Namun mereka tidak kuasa keluar dari kesepakatan. Menurut tukang ojek yang saya tumpangi, “resikonya babak belur kalau berkhianat di depan mereka! Pengkhianat kartel memang “merusak harga”.

“Tapi kalau kita yang motornya jelek gini Pak nggak mungkin dipilih penumpang! Jawabnya setengah berteriak di tengah kebisingan lalu lintas Tanah Abang-Harmoni.   Ojek yang saya tumpangi  memang motornya sama dengan tukang ojeknya sudah di atas kepala 5.

 Ya, dalam Kartel selalu ada pengkhianat. Khususnya dia yang merasa marginal atau kebutuhan yang tidak maksimal  seperti ojek-ojek yang motornya baru dapat pinjaman. Yang keluar dari kartel biasanya merasa cukup dengan keuntungan yang didapat, sama seperti tukang ojek yang saya tumpangi.

 “Saya ngojek hanya iseng pak, anak saya yang full. Jadi saya tidak perlu ngoyo dan ngotot ngasih harga tinggi. Makanya saya mangkal agak jauh dari mereka”.  Tukang ojek ini sadar tentang mekanisme harga, tentang kartel dan resiko berkhianat dan tentu ia lebih sadar tentang kebutuhan dan kekuasaannya.

Saat melewati kantor Wali Kota Jakarta Pusat, sang ojek menunjuk barisan angkot 08 yang melakukan demo. Menurutnya, para supir marah karena mereka ditilang oleh petugas dengan alasan berjalan bukan di jalur yang ditetapkan, di depan kantor wali kota Jakarta Pusat.

Padahal selama beberapa tahun jalur itu yang mereka gunakan dari Kota ke Tanah Abang. Semula jalur yang mereka lalui dari kota memutar di depan Juanda dan setneg atau di depan istana. Lalu dialihkan dan selalu melewati jalan di depan kantor Wali Kota Jakarta Pusat.   

Kasihan memang. Lewat jalan mana lagi yang bisa mereka lalui. Semua serba mendadak dan tanpa ada perencanaan yang tepat bagaimana mengelola jalur trayek yang sudah sangat membantu masyarakat. Regulasi sering membuat kita dirampok oleh mereka yang memegang Kuasa Kelangkaan..

 

 

 

 

 

      

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun