Apakah Anda pernah mengalami peristiwa parkir kendaraan hanya beberapa menit namun tetap dimintai uang parkir oleh tukang parkir liar? Atau bahkan, terpaksa membatalkan rencana pergi ke tempat umum lantaran tak membawa uang tunai dan enggan berurusan dengan pungutan liar tersebut?
Juru parkir atau tukang parkir, sudah menjadi pemandangan umum di pusat perbelanjaan, bank, dan tempat umum lainnya di Indonesia. Namun, kebanyakan dari mereka bekerja tanpa izin resmi dan dipertanyakan legalitasnya.Â
Maraknya tukang parkir ilegal tidak dapat dipungkiri memiliki benang merah dengan problem sosial yang kerap diabaikan. Jika ditarik ke akar rumput, lahirnya proksi derek motor atau "mandor parkir" ini dipicu oleh masalah pengangguran dan minimnya lapangan pekerjaan formal bagi lulusan SMA ke bawah.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2023 jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,99 juta orang. Artinya, mereka adalah angkatan kerja yang betul-betul menganggur alias tidak mendapat pekerjaan sama sekali.Â
Jumlah yang tergolong tinggi, bukan! Â Kondisi ini diperparah dengan banyak perusahaan dan lapangan kerja formal yang tutup atau melakukan PHK massal saat pandemi kemarin.
Alhasil, jutaan calon pekerja pun kesulitan mendapatkan kerjaan tetap dengan penghasilan memadai. Terutama mereka yang berpendidikan rendah dan minim keterampilan khusus.Â
Maka tak heran bila akhirnya mereka menjadi pekerja informal seperti tukang parkir atau ojek online untuk sekadar bertahan hidup.Â
Selain masalah pengangguran, faktor lain penyebab maraknya parkir liar juga terkait dengan buruknya sistem transportasi publik serta infrastruktur dan pengelolaan parkir yang belum tertib. Misalnya, ketiadaan halte bis yang nyaman atau fasilitas penitipan kendaraan resmi di sejumlah tempat umum.Â
Sistem pembayaran yang serba cashless saat ini juga menjadi dilema tersendiri, khususnya bagi anak muda. Banyak anak muda yang sudah terbiasa tidak membawa uang tunai, sedangkan tukang parkir liar sering kali memaksa meminta uang parkir meski durasi parkir sangat singkat.
Memang biaya parkir yang mereka pungut, biasanya sekitar Rp 2.000, terbilang kecil. Namun, jika diakumulasi selama sebulan, penghasilan mereka bisa mencapai jutaan rupiah, melebihi Upah Minimum Regional (UMR) yang berlaku.Â
Seorang tukang parkir bisa mengantongi Rp 6 juta per bulan, jika setiap harinya melayani 100 motor. Belum termasuk penghasilan dari pengelolaan parkir mobil yang biasa ditarifkan lebih mahal ketimbang motor.
Ironisnya, di tengah ketatnya persaingan hidup di kota, tukang parkir liar tetap eksis menjajakan jasanya. Seolah menemukan niche tersendiri di ruang publik perkotaan.Â
Fenomena ini menimbulkan dilema sosial. Di satu sisi, keberadaan para juru parkir liar seringkali mengganggu ketertiban dan kenyamanan umum. Tapi di sisi lain, mereka sebenarnya tengah berusaha mencari rezeki demi meringankan persoalan ekonomi keluarga.
Solusi Jangka Panjang Melalui Kebijakan Terpadu
Untuk mengatasi persoalan parkir liar ini, diperlukan formula penyelesaian masalah secara komprehensif dan melibatkan semua elemen terkait. Pemerintah tak cukup hanya menertibkan dan menggusur para tukang parkir liar keluar dari trotoar atau lahan publik sepihak.
Sejumlah aksi afirmatif dan kebijakan progresif perlu digulirkan, seperti program padat karya dan pelatihan vokasi gratis untuk menampung para pengangguran.Â
Selain itu, perbaikan angkutan massal dan penyediaan fasilitas parkir aman serta terjangkau bagi warga juga perlu dilakukan. Dengan begitu, pemicu munculnya parkir liar bisa ditangani sampai ke akarnya.
Selain itu, skema legalisasi dengan pemberian izin kerja dan zona khusus juga bisa dipertimbangkan untuk mengakomodir para juru parkir liar. Tentu dengan syarat pembayaran pajak dan standar layanan yang jelas agar tercipta keteraturan.
Skema kemitraan pengelolaan parkir antara pemerintah, pengelola gedung dan juru parkir juga diyakini dapat membuka solusi terbaik. Dengan pendekatan persuasif dan akomodatif, diharapkan persoalan ini bisa teratasi tanpa harus berujung pada konflik atau pelanggaran HAM.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H