Seorang tukang parkir bisa mengantongi Rp 6 juta per bulan, jika setiap harinya melayani 100 motor. Belum termasuk penghasilan dari pengelolaan parkir mobil yang biasa ditarifkan lebih mahal ketimbang motor.
Ironisnya, di tengah ketatnya persaingan hidup di kota, tukang parkir liar tetap eksis menjajakan jasanya. Seolah menemukan niche tersendiri di ruang publik perkotaan.Â
Fenomena ini menimbulkan dilema sosial. Di satu sisi, keberadaan para juru parkir liar seringkali mengganggu ketertiban dan kenyamanan umum. Tapi di sisi lain, mereka sebenarnya tengah berusaha mencari rezeki demi meringankan persoalan ekonomi keluarga.
Solusi Jangka Panjang Melalui Kebijakan Terpadu
Untuk mengatasi persoalan parkir liar ini, diperlukan formula penyelesaian masalah secara komprehensif dan melibatkan semua elemen terkait. Pemerintah tak cukup hanya menertibkan dan menggusur para tukang parkir liar keluar dari trotoar atau lahan publik sepihak.
Sejumlah aksi afirmatif dan kebijakan progresif perlu digulirkan, seperti program padat karya dan pelatihan vokasi gratis untuk menampung para pengangguran.Â
Selain itu, perbaikan angkutan massal dan penyediaan fasilitas parkir aman serta terjangkau bagi warga juga perlu dilakukan. Dengan begitu, pemicu munculnya parkir liar bisa ditangani sampai ke akarnya.
Selain itu, skema legalisasi dengan pemberian izin kerja dan zona khusus juga bisa dipertimbangkan untuk mengakomodir para juru parkir liar. Tentu dengan syarat pembayaran pajak dan standar layanan yang jelas agar tercipta keteraturan.
Skema kemitraan pengelolaan parkir antara pemerintah, pengelola gedung dan juru parkir juga diyakini dapat membuka solusi terbaik. Dengan pendekatan persuasif dan akomodatif, diharapkan persoalan ini bisa teratasi tanpa harus berujung pada konflik atau pelanggaran HAM.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H