Poin pertama dalam maklumat sudah gamblang. NKRI harga mati bagi HB IX. Terus terang, jika beberapa waktu lalu, kelompok pro penetapan itu menyatakan akan memisahkan diri dari NKRI, apakah itu bukan namanya pengkhianatan terhadap amanat HB IX sendiri? Tapi sudahlah...
Poin kedua dan ketiga juga cukup gamblang. Kedua poin tersebut tentu dibaca dalam konteks sejarah dan politik yang menyelimutinya. Dalam kondisi peralihan dari kekuasaan kolonial Jepang, maka penegasan bahwa wilayah kerajaan Yogya bukan bagian dari Jepang, apalagi Walandi (jawa: Belanda) jelas sangat dibutuhkan, baik oleh HB IX sendiri maupun untuk NKRI.
Begitu juga soal hubungan daerah, dalam hal ini kerajaan Ngayogyakarta, dengan pemerintah Jakarta. Menyadari bahwa Indonesia baru berumur mingguan saja, maka tentu belum ada hierarkhi yang rumit dalam ketatanegaraan. Yang ada adalah sangat simple: jakarta-daerah atau kerajaan. Sifatnya langsung. Semua ini karena situasi politik saat itu mengingat Republik masih sangat belia. Tentu kita jangan membayangkan hierarkhi itu serumit sekarang.
Aceh menjadi "istimewa" malah tidak pakai Undang-Undang segala, hanya sekedar SURAT KEPUTUSAN yang dikeluarkan oleh perdana menteri Sukiman.
Artinya apa? "Ijab qobul" yang ditafsirkan bebas dari maklumat amanat HB IX berisi ketiga poin itu SAMA SEKALI tidak menyinggung soal bahwa sultan harus jadi gubernur. Yang ada justru peneguhan kesetiaan tertinggi Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat kepada NKRI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H