Sebelum kita masuk ke pembahasan mengenai "Ethical Dilema, Persimpangan antara Kepercayaan dan Bukti Nyata". Kenalin aku icay, aku membagikan beberapa konten edukasi yang sangat aku sukai, yaitu : Sains, Sosial, Sejarah dan kisah pribadiku.Â
Kalau kamu memiliki ketertarikan yang sama denganku, kamu bisa follow untuk menikmati artikel artikel dengan tema yang sama. Artikel ini kutulis berdasarkan opini dan referensiku dari beberapa sumber yang telah aku cantumkan. So. Let's go kita masuk ke pembahasan. Semoga bermanfaat
------------
Saat tengah asyik nonton TV di sofa, mendadak kau mendengar ketukan pintu. Polisi baru saja tiba menangkap pasanganmu atas tuduhan pembunuhan.Â
Tuduhan yang dilayangkan sontak mengejutkan. Pasanganmu yang sehari-harinya bersikap lembut dan penyayang, melakukan pembunuhan keji yang tak pernah terbayangkan.
Tapi buktinya cukup serius: sidik jari pasanganmu membekas pada barang bukti. Ia bersikeras mengatakan tak bersalah. "Aku tahu ini buruk," katanya, "tapi, kau mesti percaya padaku! Jika bukan padamu aku berharap, pada siapa lagi?" Haruskah kau percaya pada pasanganmu, meskipun terdapat bukti pembunuh yang sangat jelas?
Coba berpikir sejenak apa yang mesti kau yakini dalam situasi ini. Dilema ini adalah bagian dari apa yang disebut filsuf sebagai etis kepercayaan atau ethical dilema, studi menjelaskan bagaimana kita bisa membentuk kepercayaan, dan memiliki kewajiban etis untuk meyakini hal-hal tertentu.Â
Pertanyaan di sini bukan apa yang mesti kau lakukan, seperti apakah kau harus turut menindak-lanjutinya. Lagipula, kau pasti takkan menjadi juri dalam persidangan mereka!
Sebaliknya, ini soal apa yang mesti kau yakini sebagai suatu kebenaran. Jadi, faktor apa yang mesti dipertimbangankan? Bisa jadi bukti yang sangat jelas ada pada dirimu.Â
Intinya, mempercayai sesuatu berarti menganggapnya benar. Bukti adalah, secara definisi, segala informasi yang membantu kita menentukan kebenaran.
Beberapa filsuf berkesimpulan bahwa bukti adalah satu-satunya hal yang bisa kau yakini Pandangan ini disebut pembuktian, dan sang ahli akan mengatakan sekalipun terdakwa adalah pasanganmu.Â
Kau mesti menaksir bukti dari sudut pandang netral dan objektif. Mengambil sudut pandang pihak ketiga tanpa memihak, Penilaian soal karakter pasanganmu memang pertimbangan yang relevan. Tapi bila sidik jarinya ditemukan di TKP maka itu adalah bukti yang sangat kuat.
Jadi, menurut pandangan ahli bukti, kau mesti yakin pasanganmu bersalah, atau sebaiknya diam. Beberapa filsuf menyajikan pembuktian hanya sebagai pandangan tentang apa yang paling rasional untuk diyakini.
Tapi beberapa imuan, pada abad ke-19 seorang ahli bernama W.K. Clifford, berpikir bahwa penyelidikan terhadap bukti juga dibutuhkan dari segi moral.Â
Kelemahan pandangan ini adalah adanya keakuratan dan kejelasan informasi yang seringkali jadi acuan penting untuk menentukan cara etis dalam bertindak.Â
Kelemahan lain adalah ditemukan ketidak- etisan apabila pelaku berusaha bohong, dan membantah bukti. Tapi, bisa saja masih ada faktor etis lain yang ikut berperan.
Meskipun bukti sudah cukup kuat masih ada cara untuk membuktikan pasanganmu sebetulnya tidak bersalah. Bayangkan sejenak rasanya menjadi seorang tertuduh, tanpa seorangpun yang percaya bahkan pasanganmu!Â
Dengan tidak mempercayai pasanganmu, Sama saja sangat melukai perasaannya di saat mereka membutuhkanmu. Terlebih, pertimbangan dampak pernikahanmu bila kurangnya kepercayaan. Pasti sulit rasanya untuk melanjut bahtera bersama seseorang yang kau percaya atau memang betul adalah tersangka pembunuhan.
Kau bisa saja berpura-pura percaya pada pasanganmu, tapi bisakah kau menjalani kehidupan dalam kebohongan?Â
Berdasarkan teori etis kepercayaan yang disebut pragmatisme, Pertimbangan-pertimbangan praktis semacam ini bisa saja benar tetap mempercayai sesuatu meskipun sudah ada bukti kuat. Beberapa ahli pragmatis akan menganggapmu punya hutang secara moral pada pasanganmu untuk percaya padanya.Â
Tapi apakah kau betul-betul percaya pada pasanganmu hanya karena kau pikir hal itu akan baik bagi hubungan kalian? Atau karena kau merasa berhutang pada tersangka? Kau justru mati-matian percaya padanya, Tapi bisakah kau mengontrol rasa percaya sama besarnya mengontrol tindakanmu?
Tampaknya, kau tak bisa sekedar percaya bila kebenaran terpampang di depan mata. Tapi di sisi lain, kau mendengar permohonan pasanganmu. Ketika kita membahas hal semacam ini, kita akan berasumsi barangkali kita bisa mengontrol kepercayaan entah bagaimana. Jadi, gimana menurutmu? Bisakah kau mengontrol kepercayaanmu? Bila benar, apa yang akan kau percaya pada pasanganmu?
------------
Apakah kamu mendapatkan manfaat dari artikel ini? Jika ya, apakah menurut kamu artikel ini membantu kamu mengenali ilmu pengetahuan umum? Jangan ragu untuk meninggalkan komentar di bawah dengan pemikiran, pengalaman, atau saran kamu.Â
Jika menurut kamu artikel ini bermanfaat, bagikan dengan orang-orang di luar sana yang akan mendapatkan manfaatnya bila membaca artikel ini. support aku icay (Kautsar Luthfian Ramadhan) untuk terus berkarya dengan follow akun media sosial ku
Instagram : @ramadhan_kautsar dan @spoticay
Youtube : Spoticay
Spotify Podcast : SpotiCay
Dan seperti biasa referensi ada dibagian bawah, terima kasih telah membaca.
Referensi :
What Is An Ethical Dilemma: Definition, Examples and Explanation (scienceabc.com)
Ethical Dilemma - Definition, How to Solve, and Examples (corporatefinanceinstitute.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H