Beberapa filsuf berkesimpulan bahwa bukti adalah satu-satunya hal yang bisa kau yakini Pandangan ini disebut pembuktian, dan sang ahli akan mengatakan sekalipun terdakwa adalah pasanganmu.Â
Kau mesti menaksir bukti dari sudut pandang netral dan objektif. Mengambil sudut pandang pihak ketiga tanpa memihak, Penilaian soal karakter pasanganmu memang pertimbangan yang relevan. Tapi bila sidik jarinya ditemukan di TKP maka itu adalah bukti yang sangat kuat.
Jadi, menurut pandangan ahli bukti, kau mesti yakin pasanganmu bersalah, atau sebaiknya diam. Beberapa filsuf menyajikan pembuktian hanya sebagai pandangan tentang apa yang paling rasional untuk diyakini.
Tapi beberapa imuan, pada abad ke-19 seorang ahli bernama W.K. Clifford, berpikir bahwa penyelidikan terhadap bukti juga dibutuhkan dari segi moral.Â
Kelemahan pandangan ini adalah adanya keakuratan dan kejelasan informasi yang seringkali jadi acuan penting untuk menentukan cara etis dalam bertindak.Â
Kelemahan lain adalah ditemukan ketidak- etisan apabila pelaku berusaha bohong, dan membantah bukti. Tapi, bisa saja masih ada faktor etis lain yang ikut berperan.
Meskipun bukti sudah cukup kuat masih ada cara untuk membuktikan pasanganmu sebetulnya tidak bersalah. Bayangkan sejenak rasanya menjadi seorang tertuduh, tanpa seorangpun yang percaya bahkan pasanganmu!Â
Dengan tidak mempercayai pasanganmu, Sama saja sangat melukai perasaannya di saat mereka membutuhkanmu. Terlebih, pertimbangan dampak pernikahanmu bila kurangnya kepercayaan. Pasti sulit rasanya untuk melanjut bahtera bersama seseorang yang kau percaya atau memang betul adalah tersangka pembunuhan.
Kau bisa saja berpura-pura percaya pada pasanganmu, tapi bisakah kau menjalani kehidupan dalam kebohongan?Â
Berdasarkan teori etis kepercayaan yang disebut pragmatisme, Pertimbangan-pertimbangan praktis semacam ini bisa saja benar tetap mempercayai sesuatu meskipun sudah ada bukti kuat. Beberapa ahli pragmatis akan menganggapmu punya hutang secara moral pada pasanganmu untuk percaya padanya.Â
Tapi apakah kau betul-betul percaya pada pasanganmu hanya karena kau pikir hal itu akan baik bagi hubungan kalian? Atau karena kau merasa berhutang pada tersangka? Kau justru mati-matian percaya padanya, Tapi bisakah kau mengontrol rasa percaya sama besarnya mengontrol tindakanmu?