Semangat untuk berendah hati demi melebur ke dalam kelompok ini bisa kita tangkap dari simbol-simbol yang terus diulang. Kiranya tradisi adalah juga pengingat. Setiap tahun kita menyajikan tajhin dan ketupat, menyelenggarakan sayembara musik daul, dan toron setidaknya tiga kali. Supaya menjadi pengingat apa yang menjadi harapan utama di balik simbolisasi.
Maka jika tradisi adalah refleksi, perayaan Idul Fitri di Madura adalah perayaan kerendah-hatian, untuk berlapang memberi dan meminta maaf, untuk menjaga kerukunan dengan kerabat dan tetangga. Tanpa semangat ini, yang tersisa tinggal tajhin dan ketupat sebagai pengganjal perut, pawai daul sebagai tontonan yang habis dalam semalam, dan lelah di perjalanan rantau-Madura, tanpa makna apapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H