Dalam perbendaharaan bahasa Indonesia, kita mengenal istilah ‘gotong-royong.’ Istilah ini merupakan serapan yang dibakukan dari bahasa Jawa, yang secara harfiah berarti memikul (gotong) secara bersama-sama (royong). Lebih dari sekadar istilah, gotong-royong sekaligus merupakan kultur khas Indonesia yang cenderung komunal. Tidak heran jika kita kerap menemukan kesulitan mencari padanan istilah ‘gotong-royong’ ini pada bahasa asing.
Pada tiap-tiap daerah di Indonesia, semangat gotong-royong ini bisa dengan mudah kita temukan. Baik melalui ekspresi kebahasaan maupun dalam wujud ritual tradisional, yang masing-masing berbeda sesuai dengan kultur setempat. Warga Yogyakarta menyebutnya ‘gugur gunung,’ warga Jawa Tengah menamainya ‘sambatan’, ada pula istilah dari bahasa Sunda ‘liliuran’ yang akrab di telinga warga Jawa Barat.
Madura sendiri karib dengan istilah ‘song-osong lombhung’, yang secara harfiah berarti memikul lumbung. Secara konotatif, lumbung bisa dipahami sebagai representasi dari sesuatu yang berukuran besar, yang digunakan untuk menyimpan hasil panen yang bermanfaat untuk hidup banyak orang. Memikul lumbung harus dilakukan oleh banyak orang bukan saja karena ukurannya yang besar, tapi karena lumbung menyangkut kepentingan banyak orang. Menyelamatkan lumbung adalah sekaligus menyelamatkan kepentingan diri sendiri dan orang-orang di sekitarnya.
Semangat song-osong lombhung ini bisa ditemui pada upacara tradisional seperti rokat tase atau petik laut, hingga kegiatan-kegiatan sehari-hari seperti membangun surau desa atau pada saat panen para petani garam. Sebagaimana lumbung, surau desa, garam dan hasil laut adalah perihal yang menyangkut kepentingan banyak orang. Karenanya ia layak untuk mencuri perhatian dan tenaga warga.
Tak melulu pada upacara tradisional, di Madura, semangat untuk saling bekerja sama ini sejatinya juga mewujud pada hajatan yang lebih kontemporer, salah satunya pada perhelatan musik daul. Daul sendiri berawal dari tradisi patrol sahur yang berusia lebih tua, yang kerap juga disebut ‘musik tong-tong’. Ia sudah berangkat dari inisiatif kolektif warga untuk membangunkan tetangga lain pada waktu sahur.
Semangat komunal ini makin teruji ketika musik tong-tong ini mulai disayembarakan. Tidak terlalu jelas juga kapan dan siapa yang menginisiasi tradisi ini. Yang pasti, diperlukan beberapa adaptasi. Perkara penyebutan adalah yang pertama. Masyarakat mulai menyebutnya dengan istilah ‘daul’, atau ‘ul-daul’ jika kita menggunakan teknik pengulangan logat Madura. Bukan lagi tong-tong, duk-duk, atau patrol sahur. Lagipula, daul tidak dipentaskan pada jam-jam sahur di bulan puasa, melainkan pada malam takbiran atau dalam rangka memasuki Idul Fitri. Ini kiranya yang bisa membedakan kirab daul dari kirab patrol sahur. Pawai daul adalah selebrasi, adalah perayaan, sekaligus hiburan rakyat.
Untuk menghasilkan musik yang lebih meriah, alat musik yang digunakan lebih beragam, meski sama-sama berbasis perkusi. Tong-tong tentunya wajib hadir, justru alat musik tradisional Madura inilah yang menjadi ciri khas daul. Instrumen lain yang ikut disertakan antara lain kenong, gendang, peking, terkadang pula terompet. Menyusul pula perkakas rumah tangga yang disulap menjadi instrumen musik. Seperti galon air atau drum plastik besar berbagai ukuran yang jika dipukul bisa berfungsi sebagai bass drum.
Satu lagi yang unik dan hampir tak pernah absen dari pentas daul adalah kereta dorong. Pertunjukkan daul umumnya dibagi menjadi dua bagian, panggung dan kirab. Panggung adalah ketika kontingen memainkan alat musik di tempat, atau tidak bergerak. Pada saat ini biasanya beberapa anggota melakukan atraksi, entah menari atau melakukan koreografi tertentu sambil terus memainkan musik dan bernyanyi.
Rombongan juga diwajibkan mengarak pertunjukkan mereka. Praktis, mereka membutuhkan moda untuk memindahkan alat-alat musik dan seperangkat pengeras suara yang mereka gunakan. Moda ini adalah kereta dorong yang umumnya mereka modifikasi sendiri.
Kereta dorong ini terbuat dari rakitan kayu atau bambu. Biasanya memiliki lima roda, empat roda di sisi kanan-kiri, dan satu di bagian depan sebagai pusat kemudi. Di atas kelima roda inilah dipasang bambu-bambu dan kayu yang saling melintang, terkadang pula disusun bertingkat, untuk memuat alat-alat musik beserta penabuhnya.
Pada bagian paling belakang kereta terpasang tali kuat-kuat. Ini untuk mengantisipasi kirab melewati jalan yang agak menurun ketika sedang berarak. Beberapa anggota rombongan ditugaskan menarik kereta dengan tali ketika melewati turunan, menahannya dari gravitasi agar tidak tergelincir.
Kereta dorong ini juga tak pernah luput dari hiasan-hiasan yang megah dan mencolok. Ada berbagai macam hewan atau tokoh pewayangan yang mereka tiru sebagai penghias. Mulai dari kepala batara kala, sayap merak, ayam bekisar hingga bangau. Tidak lupa panji-panji dan pelat kayu atau gabus bertuliskan nama kelompok atau asal desa sebagai penanda identitas.
Seluruh kompleksitas ini tentu menuntut kerja sama dari semua anggota kelompok, baik yang berdiri di atas kereta – para pemain perkusi, peniup terompet, penyanyi dan pengemudi kereta – maupun yang di luar kereta, yakni mereka yang menjaga arah, mendorong kereta dan menjaga tali. Baik yang turun langsung ke dalam pertunjukkan, maupun yang turut menyumbang dukungan dan tepuk tangan di barisan pengunjung. Jauh sebelum pentas, ketika satu kontingen berasal dari satu desa tertentu, seluruh warga desa sudah siap dengan iuran tenaga sekaligus patungan dana.
Perkara dana ini kiranya juga perlu kita perhatikan, terutama belakangan ini. Konon, dana tidak lagi berasal dari patungan warga. Seluruh biaya ditanggung beberapa orang tertentu saja, misal sang kepala desa, pemilik CV atau bahkan parpol tertentu. Di satu sisi warga memang tidak lagi dibebani tanggungjawab materi. Tapi, pertanyaan selanjutnya adalah, untuk siapa daul itu dipentaskan. Atau mungkin bisa juga, daul siapa yang tengah dipentaskan.
Sebab iuran dana, tenaga dan proses kreatif ketika merancang dan menyiapkan perlengkapan daul, sejatinya adalah pengikat warga, pengikat daul dan pengunjungnya. Sehingga mereka merasa memiliki sekaligus terwakili oleh kereta dorong yang diarak dalam pawai. Pengunjung tidak hanya bertepuk tangan untuk arak-arakan kontingen dari desa atau komunitas sebelah dimana mereka tidak tahu menahu proses pembuatannya, tapi pengunjung juga bertepuk tangan untuk kelompok daul dimana mereka ikut ambil bagian. Sebagaimana warga yang secara sukarela mengusung lumbung yang menyimpan bahan makanan untuk dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H