Kolesterol agaknya jadi perkara klasik untuk orang-orang yang menginjak usia 40-an. Pilihan menu makin menyempit. Makin repot jika para paruh baya ini doyan menyantap kelompok makanan musuh abadi pengidap kolesterol. Sebut saja daging sapi, kuah bersantan, apalagi bebek dan goreng-gorengan. Semua harus diganti yang serba sayuran atau minimal tidak dimasak dengan cara digoreng.
Usia saya sendiri tak jauh dari setengah abad, dan saya termasuk penggemar bebek. Salah satu jalan tengahnya adalah menyantap sajian bebek yang tidak dimasak dengan cara digoreng, melainkan dikukus. Orang Sampang saya kira sudah mahfum, bicara bebek kukus tentu tak bisa lepas dari Bebek Songkem Pak Salim.
Sejak diwaralabakan pada 2011, kedai bebek songkem milik Pak Musalim ini memang bisa ditemukan di beberapa titik. Mulai dari sekitar jembatan Suramadu, bahkan hingga ke luar Pulau Madura. Namun, gerai-gerai cabang ini bermuara dari Kabupaten Sampang. Di pusat kota Sampang, depot utama Bebek Songkem Pak Salim bisa ditemukan di Jalan Trunojoyo 9A, sekitar 100m ke arah selatan dari Monumen Sampang.
Selain di Jalan Trunojoyo, di Sampang anda juga bisa menikmati Bebek Songkem di dua lokasi yang lain. Depot Bebek Songkem juga ada di Jalan Raya Taddan Camplong dan di Jalan Agus Salim. Lokasi yang saya sebutkan terakhir menjadi tempat saya menikmati Bebek Songkem Pak Salim dengan khusyuk kala itu.
Yang unik dari menu bebek kukus songkem tentu cara memasaknya. Bukan digoreng ke dalam minyak panas, bukan pula direbus di air mendidih. Tapi dikukus, ini berarti uap panaslah yang melunakkan daging bebek, dari permukaan sampai ke daging yang paling dekat tulang. Untuk menghasilkan daging yang benar-benar empuk, tidak main-main, bebek dikukus selama minimal 3 jam.
Bebek dikukus dalam keadaan utuh. Sekali pengukusan, satu panci besar bisa memuat hingga 15 ekor bebek. Keunikan bebek songkem tidak berhenti di sini. Bebek tidak dikukus menggunakan air, melainkan pelepah daun pisang. Jadi, alih-alih menuang air, apa  yang diletakkan di bawah saringan panci kukusan adalah pelepah pisang. Pelepah pisang inilah yang nantinya mengeluarkan uap panas yang akan melunakkan daging bebek. Pengukusan menggunakan api kecil untuk menjaga agar daging tidak gosong.
Sebelum masuk ke panci kukusan, bebek yang sudah dikuliti dan dicuci bersih dilumuri bumbu alami, seperti bawang dan cabai. Meski dikukus dalam keadaan utuh, jeroan atau organ dalam sudah dipisahkan terlebih dahulu untuk semakin mengurangi kadar lemak. Bebek yang sudah dilumuri bumbu kemudian masih dibungkus lagi dengan daun pisang. Baru kemudian bebek siap dikukus.
Setelah terpapar uap panas selama minimal 3 jam, daging bebek benar-benar empuk, baik mulai permukaan hingga yang paling dekat tulang. Gajih-gajih bebek juga secara otomatis lengket di pelepah pisang. Belum lagi aroma langu daun karena uap panas dihasilkan dari pelepah dan bungkus yang juga berupa daun pisang. Aroma yang sangat pas dengan lumuran bumbu yang gurih dan pedas.
Sambil menyantap pedasnya bebek songkem, lengkap dengan es legen, di bilangan Jalan Trunojoyo, Sampang, saya berpikir, apa yang membuat seorang pembeli bersedia untuk membeli produk yang sama berulang kali. Sebab, sepertinya jarang saya temui depot Bebek Songkem Pak Salim sepi pengunjung. Memiliki tiga depot di kota asalnya, Sampang, usaha kuliner yang dimulai sejak 1999 ini bahkan sudah membangun banyak cabang, bahkan di luar Pulau Madura.
Apakah hanya karena unik?
Poin ini mungkin didapat dari pengolahan bebek songkem yang dimasak dengan cara dikukus, di tengah sesaknya produk bebek goreng. Harganya pun ramah di kantong, satu porsi berkisar antara Rp 25 ribu. Belum lagi klaim rendah kolesterol sebagai efek dari metode pengukusan. Bebek Songkem sempat memilih jargon ‘pilihan para dokter’. Ini karena kedainya banyak dikunjungi oleh para dokter.
Pemilik juga lihai dalam menjaga kualitas daging bebek. Bebek yang dipilih hanya yang berusia antara 45-50 hari dengan berat maksimal 1 kg, sehingga empuknya pas untuk 3 jam pengukusan. Bebek Songkem Pak Salim juga menyediakan menu selain bebek seperti burung dara dan ayam. Ini strategi bagus agar warung tidak tutup ketika bebek sedang langka. Pelanggan juga diberi pilihan untuk menikmati sajian kukusan maupun yang digoreng.
Selain unik, ramah kantong dan rendah kolesterol, saya rasa yang menarik dari bebek songkem  adalah kejelian pak Musalim, sang pemilik, untuk memilih hidangan ini sebagai menu andalan.
‘Songkem’ dalam bahasa Madura berarti sujud atau tanda hormat. Madura lekat dengan kultur yang relijius dan sangat menghormati pemimpin agama atau kyai mereka. Begitu pula di Kabupaten Sampang. Konon, ada tradisi kuno ketika orang-orang Sampang hendak songkeman atau berkunjung untuk memberi hormat pada kyai, mereka membawa buah tangan berupa masakan daging bebek.
Daging bebek ini disajikan utuh dengan posisi leher tertekuk seolah sedang menghaturkan songkem pada kyai yang dihormati. Ini pula yang sebabnya hidangan ini dinamakan bebek songkem.
Bagi pelanggan di luar Pulau Madura, mengingat gerai Bebek Songkem Pak Salim bahkan sudah sampai di Batam dan Denpasar, menyantap bebek songkem barangkali adalah menikmati citarasa bebek kukus yang unik sekaligus menyehatkan. Tapi melihat cerita di balik penyebutannya, menikmati bebek songkem kiranya sama juga dengan mengingat tradisi klasik antara warga Sampang dan kyai yang mereka hormati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H