Di tengah keputusasaannya, Sangyangtunggal bermimpi bahwa ia harus mencari bantuan seorang pemuda dari pulau seberang. Pemuda tersebut adalah cucunya sendiri, Raden Segoro, sedangkan pulau yang dimaksud tak lain adalah pantai Nepa dimana Segoro dan ibunya bermukim. Pulau itu juga yang disebut Madura.
Singkat cerita, melalui utusannya, Sangyangtunggal berhasil membujuk Raden Segoro untuk melawan tentara Cina. Atas nama Medang, Segoro memenangkan peperangan itu. Atas kemenangan itu, Sangyangtunggal sangat berterimakasih, sekaligus kagum dan penasaran akan asal-usul Raden Segoro. Ketika ditanya mengenai orangtuanya, Raden Segoro meminta ijin untuk pulang ke Pantai Nepa di Madura untuk bertanya pada ibunya.
Sangyangtunggal kemudian mengutus patih-patihnya untuk mengantar Raden Segoro. Sesampainya di Nepa, Segoro berpesan pada para patih untuk menunggu dan tidak mencuri dengar. Namun, patih-patih ini membelot, dan Segoro mengetahuinya. Mereka kepergok menguping tepat setelah Rorogung, sang ibu, mengatakan pada Raden Segoro bahwa ia adalah anak dari siluman. Segoro sangat marah ketika para patih tidak mematuhinya. Lalu dengan kesaktiannya ia mengutuk para patih tersebut menjadi kera.
Tidak mungkin kembali ke istana dalam wujud kera, para patih yang membelot ini tetap bermukim di Pantai Nepa. Orang-orang percaya, kera-kera yang tinggal di Hutan Kera Nepa, yang sesekali juga terlihat melintas di Pantai Nepa. Umumnya mereka jinak, warga meyakini karena kera-kera ini pada awalnya adalah manusia.
Bagaimana dengan Segoro dan ibunya? Legenda mengatakan mereka kemudian berhasil moksa, untuk kemudian tinggal bersama ayah Segoro di dunia gaib.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H