Bagi mereka yang bergelut di bidang bahasa, kata ‘nepa’ mungkin mengingatkan pada jejak bahasa Austronesia yang dipercaya sebagai moyang Bahasa Madura dan Melayu, yang kini kita sebut sebagai bahasa Indonesia. Bunyi vokal tinggi [i] pada ‘nipah’ berganti menjadi vokal rendah [e] pada ‘nepa’, sebagaimana dilafalkan dalam bahasa Madura. Tak hanya perkara bahasa, ‘nepa’ sejatinya juga meninggalkan cerita tentang tumbuhan nipah dan orang pertama yang bermukim di pulau Madura.
Bentangan pasir putih, ombak yang relatif tenang dan rimbunan pohon bakau, apalagi yang sanggup mengalahkan sengatan cuaca panas khas pulau garam. Pikir saya begitu jari-jari kaki mulai terbenam di bibir Pantai Nepa. Salah satu pantai yang terletak di pesisir utara Madura. Tepatnya di Desa Batioh, Kecamatan Banyuates, Kabupaten Sampang.
Menikmati birunya kaki langit di garis pantai utara Madura ini, saya membayangkan muda-mudi yang rela menempuh perjalanan sebelum hari mulai terang untuk berburu matahari terbit. Ini juga salahs atu daya tarik pantai Nepa. Pantai ini memang bukan jenis yang memiliki bukit-bukit karang yang tersebar di tepi laut, yang justru membuat pandangan ke batas laut dan langit lebih luas. Sayang, saat itu saya mampir ketika matahari sudah cukup tinggi.
Tapi pikiran sejatinya saya masih tertinggal pada hutan bakau di sepanjang kelokan sungai sejauh 1 km di balik punggung saya, yang selalu kita capai untuk menuju bibir pantai dari pintu gerbang bertulisakan Wisata Hutan Kera dan Pantai Nepa. Memang tak terlalu terlihat, tapi di balik pohon-pohon bakau itu banyak pula ditumbuhi tumbuhan nipah. Dialek setempat menyebutnya bhunyok atau nepa.
Nipah adalah salah satu tanaman yang mendominasi pantai ini. Masih satu keluarga dengan rumbia atau palem, nipah tumbuh di hutan-hutan bakau di pesisir. Hanya saja, di pantai ini, tegakan pohon nipah ini bisa dicapai dengan menyusur lebih dalam ke hutan bakau. Maklum, nipah umumnya tumbuh di bagian belakang hutan bakau, terutama di dekat sungai yang berair agak tawar, yang memasok lumpur ke pesisir.
Konon, tanaman ini pula yang membuat Raden Segoro, orang yang dalam Babad Madura disebut sebagai moyang pulau Madura, memberikan nama ‘nepa’ pada daerah ini. Tepat di sebelah desa Batioh, tempat Pantai Nepa berlokasi, ada sebuah desa bernama desa Nepa. Beberapa wana wisata sekitar juga disebut dengan nama yang sama. Beberapa diantaranya adalah Hutan Kera Nepa dan Waduk Nepa. Dalam babad, kisah antara kera, pohon nipah dan Raden Segoro saling terkait utamanya tentang asal muasal pulau Madura.
Raden Segoro sejatinya adalah cucu dari maharaja kerajaan Medang, Prabu Sangyangtunggal, di pulau Jawa. Raden Segoro lahir dari Dewi ratna Rorogung, putri kandung Sangyangtunggal. Kisah tenang ayah Raden Segoro tidak diketahui secara jelas. Rorogung dikisahkan bermimpi melumat rembulan sebelum akhirnya ia mengandung anak laki-laki pertamanya. Karenanya, ia kesulitan menceritakan siapa ayah dari anak yang dikandungnya, yang kemudian menyulut murka Prabu Sangyangtunggal. Sang Prabu berpikir bahwa putrinya sengaja tidak berterusterang tentang laki-laki yang menghamilinya.
Ia kemudian mengutus patih kepercayaannya, Patih Pranggulang, untuk membawa Rorogung ke hutan dan membunuhnya. Pada awalnya sang patih mematuhi. Namun, setelah beberapa kali pedangnya terpental ketika hendak memenggal kepala Rorogung, Pranggulang kemudian berpikir bahwa sang putri tidak bersalah. Ia kemudian berbalik melindunginya.
Membelot titah sang prabu, kotaraja terlebih istana Medang tentu bukan lagi pilihan tepat untuk ditinggali. Pranggulang kemudian menyamar dengan melucuti seragam kebesarannya, menggantinya dengan kain poleng, tenunan khas Madura. Ia menyebut dirinya sendiri Kyai Poleng. Rorogung lalu diungsikan menggunakan perahu rakit, atau githek, yang ditendangnya hingga mampu menyeberang laut mencapai daratan di lereng gunung Gegger. Di kaki gunung inilah Rorogung melahirkan Raden Segoro dan membesarkannya hingga berusia 7 tahun.
Setelah Segoro berusia 7 tahun, Rorogung mengajaknya menuruni lereng gunung Gegger, mencari tempat baru untuk bermukim. Mereka kemudian berhenti di pesisir yang dipenuhi tumbuhan nipah. Segoro kemudian membuatkan rumah beratap daun nipah untuk ibunya. Daun-daun nipah ini pula yang kemudian membuat Segoro menyebut pesisir pantai itu dengan nama ‘nepa’ yang berarti nipah, pesisir yang sama dimana saya menyusuri hutan bakau yang menyembunyikan pohon-pohon nipahnya.
Kisah Segoro dan Rorogung tapi tidak berhenti di pesisir itu. Segoro ditakdirkan untuk bertemu dengan kakeknya, Sangyangtunggal. Ketika Segoro menebang batang-batang daun nipah untuk mebangun atap rumah ibunya, sang kakek Sangyangtunggal tengah kebingungan mempersiapkan perang melawan tentara dari Cina.
Di tengah keputusasaannya, Sangyangtunggal bermimpi bahwa ia harus mencari bantuan seorang pemuda dari pulau seberang. Pemuda tersebut adalah cucunya sendiri, Raden Segoro, sedangkan pulau yang dimaksud tak lain adalah pantai Nepa dimana Segoro dan ibunya bermukim. Pulau itu juga yang disebut Madura.
Singkat cerita, melalui utusannya, Sangyangtunggal berhasil membujuk Raden Segoro untuk melawan tentara Cina. Atas nama Medang, Segoro memenangkan peperangan itu. Atas kemenangan itu, Sangyangtunggal sangat berterimakasih, sekaligus kagum dan penasaran akan asal-usul Raden Segoro. Ketika ditanya mengenai orangtuanya, Raden Segoro meminta ijin untuk pulang ke Pantai Nepa di Madura untuk bertanya pada ibunya.
Sangyangtunggal kemudian mengutus patih-patihnya untuk mengantar Raden Segoro. Sesampainya di Nepa, Segoro berpesan pada para patih untuk menunggu dan tidak mencuri dengar. Namun, patih-patih ini membelot, dan Segoro mengetahuinya. Mereka kepergok menguping tepat setelah Rorogung, sang ibu, mengatakan pada Raden Segoro bahwa ia adalah anak dari siluman. Segoro sangat marah ketika para patih tidak mematuhinya. Lalu dengan kesaktiannya ia mengutuk para patih tersebut menjadi kera.
Tidak mungkin kembali ke istana dalam wujud kera, para patih yang membelot ini tetap bermukim di Pantai Nepa. Orang-orang percaya, kera-kera yang tinggal di Hutan Kera Nepa, yang sesekali juga terlihat melintas di Pantai Nepa. Umumnya mereka jinak, warga meyakini karena kera-kera ini pada awalnya adalah manusia.
Bagaimana dengan Segoro dan ibunya? Legenda mengatakan mereka kemudian berhasil moksa, untuk kemudian tinggal bersama ayah Segoro di dunia gaib.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H