Lihat kebunku penuh dengan bunga
Ada yang merah dan ada yang putih
Setiap hari kusiram semua
Mawar melati semuanya indah
Sambil menimang-nimang si Adik, kamu menyenandungkannya.
Tiap sore. Tiap habis kamu memandikannya.
Kamu akan meraihnya dan mengikatnya dengan kain gendongan warna ungu terong di punggungmu.
Aku hanya duduk di ujung teras dengan buku gambar dan puntungan krayon.
Dan dia, si bajingan-tua-bangka itu tak melakukan apapun untuk menyenangkan keluarganya selain bermain-main dengan puntung rokoknya.
--
Lihat kebunku penuh dengan bunga
Ada yang merah dan ada yang putih
Hari itu, sampai situ saja kamu sanggup menyanyikannya.
Yang kemudian kudengar hanyalah suara jeritan dan raunganmu.
Juga suara raksasa murka dan kebisingan yang tak mau lagi kuingat-ingat.
--
"Lihat! Kebunku penuh dengan bunga.
Ada yang merah dan ada yang putih."
Kebun kita memang dari dulu penuh bunga.
Bunga apa saja yang menyedapkan mata.
Yang memanjakan hidung dan hasrat.
Kini lebih banyak lagi bunga-bunga di kebun kita.
Kamu pasti senang jika sempat menikmatinya.
--
Setiap hari kusiram semua
Mawar melati semuanya indah
Sungguh sudah tak ada lagi air mata yang tersisa.
Mawar, melati, atau apa saja sudah habis kupetik satu-satu.
Tak ada lagi air, tak ada lagi bunga.
Tinggal tanah kering yang menyisa bersama jiwa-jiwa tandus
--yang kapan saja akan terbawa angin kemarau bersama debu-debu dan lapukan batu.
--
Bukan kebunku, bukan. Melainkan kebunmu; pusaramu yang tumbuh di tengah kebunmu dulu.
-------------------------------------
Disclaimer:
Puisi ini dibuat bukan untuk melecehkan lagu anak-anak atau pihak manapun. Ketika membuatnya di tahun 2014, saya membayangkan sebuah keadaan dari sudut pandang anak-anak yang terjebak pada situasi yang tidak seriang dan semenyenangkan lagunya. Sebelumnya juga menulis puisi eksperimental lain di sini.
Penulis: Katya Sekar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H