Apa kabar “PAPA MINTA SAHAM”?
Apa kabar “Mafia MIGAS”?
Inilah setidaknya pertanyaan publik sekarang yang kemarin sempat dihebohkan oleh manuver dari Menteri ESDM, Sudirman Said, ketika dirinya kepergok ingin memberikan perpanjangan kontrak Freeport tanpa sepengetahuan oleh Presiden Jokowi.
Kini, setelah berlarut-larutnya permainan politik ‘jorok’ si menteri yang ingin disebut sebagai pejabat bersih ini, nyatanya Kejagung ataupun Kepolisian justru terlihat tidak sanggup untuk membongkar sepak terjang dari Mafia MIGAS yang namanya sering disebut di media massa, yaitu Mohammad Riza Chalid (Reza Chalid).
JEJAK-JEJAK SUDIRMAN SAID bersama MAFIA MIGAS
Kini, publik justru makin merasa yakin bahwa fakta sesungguhnya adalah tak lebih dari drama “lempar batu sembunyi tangan” karena mereka adalah satu guru satu ilmu dalam merampok kekayaan MIGAS nasional. Melalui berbagai argumentasi, mereka mempengaruhi opini publik guna menyembunyikan masing-masing borok dan kejorokannya sehingga dengan berjalannya waktu mereka akan mengulanginya kembali di lain waktu. Inilah bentuk permainan mereka yang juga terbaca oleh publik ketika permainan ‘jorok’ itu mereka mainkan bak perang antar mafia, seperti yang terjadi ketika mereka hanya memilih lakukan AUDIT PETRAL era 2012-2014 dengan TANPA AUDIT PETRAL era kepemimpinan ARI SOEMARNO (2001-2009) dan saat SUDIRMAN SAID menjadi Senior Vice President di ISC.
Kini, kita sebagai bagian dari mayoritas publik yang mulai melibatkan diri secara aktif dalam partisipasi politik sejak Pemilu 2014 lalu, juga mulai memperoleh fakta-fakta baru bahwa mereka yang selama ini mengaku sebagai bagian dari Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) ternyata juga hanya tak lebih dari “HERDER” dari Dirut PELINDO II (RJ LINO) yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Ya, mereka yang ikut mendirikan Masyarakat Transparansi Indonesia, Sudirman Said dan Erry Riana Hardjapamekas (Mantan Pimpinan KPK dan Komite Pengawas Perpanjangan Kontrak JICT), SAH untuk kita cap sebagai Maling yang TERIAK Maling.
Publik akhirnya juga mulai terbuka pemahamannya ketika drama PAPA MINTA SAHAM ternyata juga membawa pada fakta bahwa dibalik layar sedang terjadi serangkaian pertemuan-pertemuan antara keluarga Wapres Jusuf Kalla dengan bos Freeport McMoran, James R Moffett alias Jim Bob. Meski Wakil Presiden Jusuf Kalla geram lantaran ada banyak pihak yang menyudutkannya dalam kasus Freeport. Wapres Jusuf Kalla juga tidak membantah adanya pertemuan antara kepentingan bisnisnya dengan rencana perpanjangan kontrak Freeport di Indonesia. Setidaknya inilah yang diakui oleh Jusuf Kalla seperti yang dilansir oleh tempo.co “Dia (Jusuf Kalla, pen) juga menilai kerja sama yang dilakukan kerabatnya dan bos Freeport itu sebagai bentuk bahwa pengusaha Indonesia bisa bersaing dengan pengusaha asing. Artinya, Jim Bob memperhitungkan kualitas perusahaan asal Indonesia, yang dikelola Aksa, untuk bergabung bisnis tanpa ada unsur politis”
Masih seperti yang dilansir oleh tempo.co pada 28 Desember 2015 yang lalu, Jusuf Kalla mengatakan "Kalau urusan dagang, ya dagang. Daripada orang Cina yang jadi kontraktor" dan "Pengusaha nasional atau pribumi kerja di daerah cari proyek yang bagus, apa salahnya? Jangan anti dengan pengusaha."
Keinginan Keluarga Kalla, melalui adik iparnya, Aksa Mahmud; dan keponakannya, Erwin Aksa, yang melakukan pertemuan dengan bos Freeport, Jim Bob atau James R. Moffet, untuk mendapat saham 40 persen dalam rencana pembangunan smelter di Mamberamo, Papua, sepertinya memang sudah sejak awal ia persiapkan. Misalnya, Jusuf Kalla di kompas.com pada 23 Desember 2015 mengakui bahwa sejak 2013 lalu, Bosowa memang membangun pabrik semen (grinding plant) di Sorong, Papua Barat, dengan investasi senilai Rp 679 miliar. Sejalan dengan itu, Wapres Jusuf Kalla sejak bulan Januari 2015 juga sudah mempersiapkan strategi seolah-olah membela kepentingan pembangunan papua dengan memaksa Freeport agar membangun smelter di Papua.