"Minum ini. Kamu harus istirahat, pekerjaanmu udah cukup berat.", ucap Diluc sambil memberinya minuman Birch Sap yang dikatakan bisa menyembuhkan batuk ringan.
      "Ah Diluc, ini bukan minuman yang kupesan tadi...", balas Jean. Tetapi perkataan Jean berkebalikan dengan yang dilakukannya. Ia justru menghabiskan minuman itu sampai tidak ada yang tersisa. Melihat tingkah laku Jean, senyum tersimpul pada wajah Diluc diikuti dengan ekspresi lega.
      "Apa kamu bisa menjaga dirimu sendiri, Jean?", tanya Diluc sambil membersihkan mulut Jean secara langsung dengan sapu tangan miliknya. Perilaku Diluc yang memperlakukan Jean bagaikan porselen cantik, ia merawatnya dengan hati-hati. Seperti adegan di pertunjukkan teater yang sering dilihat oleh Donna. Berbeda dengan perilaku Diluc yang memperlakukan Donna selayaknya sebagai seorang pelanggan. Di saat itu juga, Donna langsung menyadari keberadaannya di dalam cerita ini. Ia bukanlah tokoh utamanya.
Seketika perasaan Donna mulai gundah. Daripada ia harus menonton adegan yang mematahkan hati ini lebih lanjut, Donna memutuskan untuk bangkit pergi dari tempat duduknya. Ia beranjak keluar dari pintu tanpa penjelasan apapun dengan kepala menunduk. Perjalanan dari kedai ke rumahnya terasa sangat jauh, kakinya terasa berat untuk digerakkan. Pertanyaan dari penduduk setempat yang menanyakan keadaannya pun tidak terdengar. Dirinya yang biasanya ceria ini terus menundukkan kepalanya sampai di depan rumahnya. Ketika pintu rumahnya sudah dikunci, ia menyenderkan kepalanya pada pintu dan akhirnya menatap langit kayu pada rumahnya. Seberapa keras pun ia menahannya, air mata itu sudah tidak tertampung lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H