Adakala kita sudah merasa tulus dengan apa yang dilakukan. Namun, kenyataan tidak setulus yang dirasa ketika hadir kenyataan.
Apakah pernah memberikan sesuatu kepada seseorang, setelah menerima takada satu pun kata yang terucap? Wajah pun dengan ekspresi biasa saja.
Mungkin takfokus, takpeduli, tak menghargai, atau memang taktahu berterima kasih.
Apabila pernah. Bagaimana sikap kita? Kecewa dan kesal atau biasa saja dan bisa memaklumi?
Wajarlah.Â
Mungkin malah ada yang mengumpat dalam hati. Menyesal pakai banget. Kesal sampai sesak di dada. Lain kali tidak akan melakukan lagi. Bertekad diri.
Setiap orang punya cara menyikapi bila mengalami hal ini. Termasuk saya  ketika mengalami sendiri.
Menjelang Hari Natal dan Tahun Baru atau hari besar lainnya, seperti biasa saya mengirim  banyak gambar ucapan "Selamat Hari Natal" dan "Selamat Tahun Baru" ke saudara dan teman yang merayakan dengan sukacita. Berharap mereka semua bersukacita merayakan.
Apabila ada yang spontan membalas mengirim gambar atau mengucapkan "terima kasih" rasanya sukacita makin lengkap. Hadir bahagia tak terkira.Â
Saya pikir kebanyakan orang akan mengalami perasaan yang sama, bukan?
Ada respon berarti sudah diterima atau dibaca. Ada respon artinya apa yang kita lakukan dihargai. Respek. Walaupun kita tidak tahu tulus atau basa-basi.Â
Takpeduli. Yang terpenting apa yang dilakukan berbalas. Jangan hanya bisa diam seribu basa sehingga menghadirkan seribu tanya pula.
Secara umum ketika kita memberi sesuatu kepada orang lain muncul harapan untuk segera mendapatkan balasan. Paling tidak sebuah ucapan "terima kasih" atau dengan bahasa isyarat berupa senyuman. Itu pun sudah cukup. Hadirkan bahagia.
Sayangnya tidak semua akan menjadi kenyataan. Benar saja. Kiriman gambar ucapan selamat yang  saya layangkan ada beberapa yang tidak mendapatkan respon. Padahal semua dengan jelas ada muncul dua centang biru. Artinya sudah terbaca.
Seketika memang muncul tanya dan rasa kecewa. Ada apa? Kenapa tidak direspon? Apa memang tidak senang dikirimi gambar tersebut?Â
Karena saya memang pernah bertemu dengan orang yang terus terang  mengatakan tidak suka dikirimi segala macam gambar ucapan.
Apakah justru dengan mengirim gambar ucapan itu membuatnya taksenang karena akan mengurangi jatah kuota internetnya yang terbatas?
Ada juga karena alasan memori teleponnya tidak cukup kalau terlalu banyak menerima kiriman gambar. Ya sudah. Tak apa-apa.
Tetap saja saat mengalami hal yang sama, berkecamuk begitu banyak  rasa penasaran tak berkesudahan. Sekali lagi. Ada apa? Hanya bisa menelan ludah.
Buru-buru menghibur diri. Mungkin saja setelah membuka gambar dan membaca apa yang tertulis tidak sempat merespon karena tiba-tiba ada urusan. Bisa saja, bukan?
Bisa juga karena alasan lain yang tak terpikirkan. Bukankah kita tahu untuk satu hal ada seribu satu alasannya? Mau menelusuri satu demi satu? Capai deh.
Spontan juga muncul tanya  akan kadar ketulusan pada diri. Memberi masih berharap pamrih. Mengapa tak bertumbuh kedewasaan rohani?
Ketulusan omong kosong saja. Memberi diam-diam jauh di lubuk hati berharap kembali.
Kenapa masih begini? Â
Kenapa masih belum bisa memberi dengan tulus apa adanya?
Memberi ya memberi saja dengan niat tulus apapun yang terjadi. Direspon atau tidak ketulusan tak tergoyahkan. Itu baru namanya ketulusan. Bukan tulus-tulusan.
Ada balasan terima kasih atau tidak ada, tiada mempengaruhi suasana hati. Fokus saja pada hal baik yang dilakukan. Bukankah ini yang lebih  baik dan berarti?Â
Begitu sederhana. Kenapa masih belum bisa?
@cermindiri, 04 Januari 2023Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H