Ayah Tuah turun dari kursi goyangnya untuk memberikan keterangan agar khalayak paham.Â
Berkali-kali menegaskan bahwa ini puisi. Ini puisi. Penggunaan frasa "lubang sumur" dan "punggung kabel" tak salah. Boleh-boleh saja. Tidak ada pasal yang dilanggar. Sah-sah saja. Karena penulis puisi memiliki hak istimewa, licentia poetica.
Bahwa penggunaan "lubang sumur" itu adalah metafora atau majas pleonasme. Dengan memberikan contoh penggunaannya: maju ke muka; mundur ke belakang; masuk ke dalam.Â
Ada lagi naik ke atas; lurus ke depan; berdiri dengan kaki; memegang dengan tangan. Tolong tambahkan yang lain lagi.
Soal frasa "punggung kabel" ini adalah penggunaan majas personifikasi menurut Ayah Tuah. Menghidupkan benda mati istilahnya. Apa yang mati dianggap seolah-olah hidup.
Misalnya: angin berbisik; nyiur melambai; tiang listrik berbaris. Angin seakan punya mulut; nyiur seakan punya tangan; tiang listrik seakan satpam.
Ada lagi burung bernyanyi; bulan tersenyum; dahan-dahan menari.Â
Terlepas siapa yang paling benar dalam menyikapi urusan lubang sumur dan punggung listrik ini tentu sebagai penonton tetap mesti menggunakan akal sehat menyikapi.Â
Apa yang disampaikan oleh kedua pendekar ini seperti sedang bercanda, tetapi ada hal serius  yang dapat kita jadikan pembelajaran.
Bahwa menulis--khususnya puisi--itu memang bebas berkreasi menggunakan kata apa saja. Â Namun, jangan pula menabrak logika dengan penggunaan kata dengan berlindung memiliki hak istimewa.
Sebaliknya juga agar sebuah puisi menjadi indah terbaca dengan diksi yang memesona--tidak kering dan garing--jangan segan menggunakan hak istimewa, licentia poetica.Â