Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Misteri "Lubang Sumur" dan "Punggung Kabel"

14 Januari 2023   15:35 Diperbarui: 14 Januari 2023   15:57 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Contoh lubang sumur/pixabay.com-MabelAmber

Semua berawal dari lubang sumur dan punggung kabel, lahirlah kisah-kisah mengungkap misteri.

Adalah  Pendekar Kenthir di jagat persilatan kata Kompasiana yang memulai aksi yang menimbulkan keriuhan dan juga keseruan berkelanjutan.  

Jagat Kompasiana kini ibarat air sumur yang tadinya tenang kini mulai beriak. Ibarat kabel listrik tempat burung-burung bertengger tenang kini bergoyang diterpa angin. 

Engkong Felix Tani, Pendekar Tua Aneh pemilik Padepokan Gang Sapi  yang punya jurus andalan Bumerang Wuyung tanpa tedeng aling-aling melubangi 'lubang sumur" pendekar cantik tiada banding  Mbakyu Lilik Fatimah Azzahra dari klan Fiksiana. 

Bukan itu saja sang pendekar pun memunggungi 'punggung kabel' pendekar yang tak kalah cantik, Neng Ayu Diahastuti.

Dengan segala jurus logika yang menohok justru menghadirkan geli terbahak-bahak dari sang pendekar sendiri. Diikuti yang sealiran yang masih bingung mencari lubang yang ada di sumur masing-masing. Pun kebingungan membedakan mana punggung dan perut sebuah kabel listrik. Sungguh misteri.

Benar-benar suasana yang menegangkan dan mencengangkan. Untung kondisi masih kondusif, belum masuk waspada dan darurat.  

Menurut sang pendekar, Engkong Felix Tani, boleh saja menggunakan segala jurus kata-kata indah berima, tetapi yang penting jangan mengkhianati akal sehat dan menabrak logika.

Sekalipun dalam dunia perfiksian atau puisi ada yang namanya licentia poetica. Suatu kebebasan atau izin menyimpang dalam  berpuisi. Misalnya untuk menciptakan diksi nan indah dengan mengubah susunan kata atau frasa.

Namun, menciptakan kata "lubang sumur" dan "punggung kabel'" menurut sang pendekar itu menyimpang banget. Dengan segala penjelasan yang tidak perlu saya jelaskan lagi sejelas-jelasnya  di sini.

Intinya setiap sumur pasti berlubang, tetapi setiap yang berlubang belum tentu sumur. Kalau kabel berpunggung, bagaimana membedakan dengan perutnya? Penasaran, bukan? 

Kesimpulannya menyimpang demi menghasilkan keindahan kata boleh saja asal  tetap bisa diterima logika dan  akal sehat. Jangan sampai berlindung di balik licentia poetica lalu menghadirkan frasa kata sesukanya dan aneh-aneh yang melanggar logika.

Jadi, menurut sang pendekar, frasa "lubang sumur" dan "punggung kabel" takbisa diterima logika dan tentunya akal sehat. Mengada-ada. Bisa-bisa nanti lahir frasa "lubang terowongan" dan "punggung pisang".

Bagaimana nasib rimba fiksiana nanti?

Oleh sebab itu urusan lubang dan punggung ini hanya  diterima gelak tawa oleh sang rasionalis. Spontanitas saja tanpa ada maksud menghina.

Mendengar kegelian yang segera berubah jadi tawa membahana sampai pula ke telinga Sang Pendekar Kata yang berada di Tanah Banten. 

Apalagi saat Fatimah dan Ayu dengan tersedu-sedu mengadu sambil bersandar di bahu. Bagi keduanya Ayah Tuah memang sudah seperti ayah sendiri. Jadi, wajar bisa bersikap manja gimana gitu.

Darahnya mendidih. Dua murid kesayangan yang juga idolanya yang sering hadir dalam mimpi-mimpi diobok-obok oleh pendekar musuh bebuyutannya. Membuat perhitungan adalah harga mati. 

Saking bergejolaknya tanpa sadar menggebrak meja. Secangkir kopi yang baru diseduh sampai muncrat ke mana-mana. Ayah Tuah jadi menelan ludah. Sebab kopi dalam sekejap ludes dari cangkir.

Takbisa ditawari lagi kayak belanja di kaki lima. Kalau kata bahasa preman "lu jual  gue beli". 

Setelah mempelajari situasi dan kondisi dengan seksama dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, Ayah Tuah menyiapkan jurus metafora atau majas untuk menghadapi jurus rasionalis Pendekar Tua Aneh itu. Yang rasa gelinya masih belum habis juga.

Ayah Tuah turun dari kursi goyangnya untuk memberikan keterangan agar khalayak paham. 

Berkali-kali menegaskan bahwa ini puisi. Ini puisi. Penggunaan frasa "lubang sumur" dan "punggung kabel" tak salah. Boleh-boleh saja. Tidak ada pasal yang dilanggar. Sah-sah saja. Karena penulis puisi memiliki hak istimewa, licentia poetica.

Bahwa penggunaan "lubang sumur" itu adalah metafora atau majas pleonasme. Dengan memberikan contoh penggunaannya: maju ke muka; mundur ke belakang; masuk ke dalam. 

Ada lagi naik ke atas; lurus ke depan; berdiri dengan kaki; memegang dengan tangan. Tolong tambahkan yang lain lagi.

Soal frasa "punggung kabel" ini adalah penggunaan majas personifikasi menurut Ayah Tuah. Menghidupkan benda mati istilahnya. Apa yang mati dianggap seolah-olah hidup.

Misalnya: angin berbisik; nyiur melambai; tiang listrik berbaris. Angin seakan punya mulut; nyiur seakan punya tangan; tiang listrik seakan satpam.

Ada lagi burung bernyanyi; bulan tersenyum; dahan-dahan menari. 

Terlepas siapa yang paling benar dalam menyikapi urusan lubang sumur dan punggung listrik ini tentu sebagai penonton tetap mesti menggunakan akal sehat menyikapi. 

Apa yang disampaikan oleh kedua pendekar ini seperti sedang bercanda, tetapi ada hal serius  yang dapat kita jadikan pembelajaran.

Bahwa menulis--khususnya puisi--itu memang bebas berkreasi menggunakan kata apa saja.  Namun, jangan pula menabrak logika dengan penggunaan kata dengan berlindung memiliki hak istimewa.

Sebaliknya juga agar sebuah puisi menjadi indah terbaca dengan diksi yang memesona--tidak kering dan garing--jangan segan menggunakan hak istimewa, licentia poetica. 

Dengan kebebasan ini bisa menuliskan puisi menggunakan kata-kata indah nan mewah menghadirkan diksi-diksi memesona dengan kreatif dan evokatif.

Jadi, jangan segan kita saling belajar tanpa perlu gengsi. Gitu saja sih.

Peringatan: tulisan ini untuk kepentingan hiburan semata, apabila ada kesamaan nama dengan kompasianer hanya unsur kesengajaan belaka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun