Intinya setiap sumur pasti berlubang, tetapi setiap yang berlubang belum tentu sumur. Kalau kabel berpunggung, bagaimana membedakan dengan perutnya? Penasaran, bukan?Â
Kesimpulannya menyimpang demi menghasilkan keindahan kata boleh saja asal  tetap bisa diterima logika dan  akal sehat. Jangan sampai berlindung di balik licentia poetica lalu menghadirkan frasa kata sesukanya dan aneh-aneh yang melanggar logika.
Jadi, menurut sang pendekar, frasa "lubang sumur" dan "punggung kabel" takbisa diterima logika dan tentunya akal sehat. Mengada-ada. Bisa-bisa nanti lahir frasa "lubang terowongan" dan "punggung pisang".
Bagaimana nasib rimba fiksiana nanti?
Oleh sebab itu urusan lubang dan punggung ini hanya  diterima gelak tawa oleh sang rasionalis. Spontanitas saja tanpa ada maksud menghina.
Mendengar kegelian yang segera berubah jadi tawa membahana sampai pula ke telinga Sang Pendekar Kata yang berada di Tanah Banten.Â
Apalagi saat Fatimah dan Ayu dengan tersedu-sedu mengadu sambil bersandar di bahu. Bagi keduanya Ayah Tuah memang sudah seperti ayah sendiri. Jadi, wajar bisa bersikap manja gimana gitu.
Darahnya mendidih. Dua murid kesayangan yang juga idolanya yang sering hadir dalam mimpi-mimpi diobok-obok oleh pendekar musuh bebuyutannya. Membuat perhitungan adalah harga mati.Â
Saking bergejolaknya tanpa sadar menggebrak meja. Secangkir kopi yang baru diseduh sampai muncrat ke mana-mana. Ayah Tuah jadi menelan ludah. Sebab kopi dalam sekejap ludes dari cangkir.
Takbisa ditawari lagi kayak belanja di kaki lima. Kalau kata bahasa preman "lu jual gue beli".Â
Setelah mempelajari situasi dan kondisi dengan seksama dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, Ayah Tuah menyiapkan jurus metafora atau majas untuk menghadapi jurus rasionalis Pendekar Tua Aneh itu. Yang rasa gelinya masih belum habis juga.