Belajar menulis tanpa harus membaca buku teori atau kiat menulis. Apakah bisa?
Saya termasuk yang tidak suka membaca hal-hal yang menurut teori harus begini dan begitu. Oleh sebab itu saya tidak suka membaca buku tentang menulis yang  berbau teoretis.
Awal  belajar menulis waktu itu ada buku yang cukup terkenal tentang menulis. Yakni "Mengarang Itu Gampang" karya Arswendo Atmowiloto. Penulis dan wartawan top dengan Tabloid Monitor yang sempat bikin heboh.
Namun, jujur saya tidak tertarik untuk membaca selain judulnya saja. Karena saya berpikir kalau memang mengarang atau menulis itu gampang, buat apa belajar lagi?
Logikanya begitu.Â
Bukankah belajar sesuatu yang mudah itu hanya buang-buang waktu?Â
Jadi, saya belajar menulis justru dari buku yang tidak mengajarkan tentang menulis. Ini lebih menarik.Â
Karena belajar yang teoretis itu malah bikin mengantuk. Sama halnya ketika masih muda saya paling malas nonton drama percintaan. Kalaupun nonton akan mudah tertidur. Lucunya sekarang saya malah suka drama percintaan. Paling tidak bisa menghilangkan rasa suntuk.
Waktu pertama kali belajar menulis cerpen, bukan mencari buku teori cara mudah menulis cerpen misalnya. Saya justru langsung membaca cerpen-cerpen di Majalah Anita Cemerlang. Terutama bagaimana cara menulis dialog. Karena menurut saya hal itu  merupakan yang  paling dasar dari menulis sebuah cerpen.
Dalam perjalanannya buku kecil "Sang Nabi" dari Kahlil Gibran sangat menarik perhatian. Kemudian menjadi inspirasi merangkai kata indah nan memesona. Walaupun saya pernah merasa gagal.Â
Gaya bahasa Kahlil Gibran, penulis dan penyair kelahiran Lebanon yang berkarya di Amerika Serikat memang sangat menggoda rasa. Tidak mudah meramu gaya demikian, ini yang menjadi tantangan.
Kemudian buku "Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya" yang renyah dan spontan sering bikin tersenyum meregangkan syaraf saya untuk belajar menulis  yang menghadirkan senyuman.
Bukan kotoran si cacing yang membuat tersenyum, tetapi cara penulisannya menceritakan kisah yang mau tak mau bikin senyuman manis saya hadir.
Sang penulis, Ajahn Brahm atau namanya aslinya Peter Betts kelahiran London, Inggris yang  terpanggil menjadi biksu di Thailand. Saat ini  berkarya di Australia dalam buku ini memang  sangat piawai menggoda syaraf tawa dengan cerita sederhana, tetapi mengena.
Dahlan Iskan, pemilik Jawa Pos Grup. Â Mantan wartawan yang sampai saat ini masih rajin menulis. Saya termasuk yang suka dengan gaya menulis beliau yang pendek-pendek. Jarang pakai koma. Langsung titik.
Menurut saya dengan gaya demikian jadi mudah memahami. Ringan. Nyaman membacanya. Tidak ngos-ngosan seperti habis lari maraton.
Oleh sebab itu saya belajar dengan hampir setiap hari membaca tulisan di situs milik beliau.
Kalau di Kompasiana saya suka gaya tulisan Pak Felix Tani alias Engkong Kenthir. Salah satu penghuni Gang Sapi yang rumahnya paling mudah dikenali. Karena ada pohon pisangnya.
Pohon pisang yang telah menjadi ide melahirkan banyak tulisan.
Walaupun tulisannya kadang membingungkan dan pakai bahasa yang berat dan rumit, tetapi dapat dipahami. Karena beliau dapat menjelaskan secara logis.
Selayaknya menulis di media sosial itu agar  semua pihak dapat memahami. Jangan sampai menulis malah membingungkan. Selesai membaca tidak mengerti apa-apa. Yang mengerti hanya diri sendiri.Â
Yang tidak  saya suka dan tidak hendak belajar dari Pak Felix adalah saltiknya itu. Kadang bikin bingung. Kesal juga. Namun, menurut saya tetap masih logis. Merujuk level usia beliau yang sudah mencapai engkong.Â
Bukan hanya belajar dari aliran kenthir, saya belajar dari aliran gila. Entah dari mana datangnya orang gila tersebut tahu-tahu sering nongkrong depan sebuah rumah kosong.
Biasanya orang gila itu bawaannya aneh-aneh. Lain dengan yang satu ini. Bawaannya buku tulis dan pulpen.
Keren, bukan? Pernah saya mendekat untuk mengamati apa yang ditulis. Tidak jelas. Mungkin saya terlalu takut untuk lebih mendekat lagi.
Namun, ada satu hal yang saya dapatkan. Yakni tentang kepercayaan diri. Orang gila saja berani menulis, masa saya yang waras kalah berani?
Ketika saya kehilangan kepercayaan diri untuk menulis, segera saya ingat tentang orang gila tersebut.
Tentu saja saya tidak akan dan bisa serupa mereka. Setiap penulis pasti memiliki gaya tersendiri yang tidak bis ditiru sepenuhnya. Paling tidak mereka semua menjadi inspirasi untuk menulis sesuai potensi dan kapasitas saya.
Yang terbaik memang tetap menjadi diri sendiri. Orang lain boleh hanya sebatas jadi inspirasi.
Baru-baru juga saya menonton sebuah video tentang seorang seniman melukis. Cara melukisnya sangat indah dan mendetail.Â
Keren banget. Bagaimana cara sang pelukis menggoreskan kuas kecil melukis bagian yang sangat detail. Sebagian besar dengan warna hitam saja, tetapi hasilnya luar biasa.Â
Spontan saya terinspirasi. Dalam hal ini bukan terinspirasi dengan apa yang tersaji, tetapi terinspirasi bagaimana menulis seperti yang tersaji.
Langsung saya memejamkan mata dan berimajinasi menulis itu  ibarat sedang melukis kata-kata. Indah.
Kesimpulannya. Belajar menulis tidak selalu dari buku atau seminar tentang menulis. Yang lebih utama adalah keinginan untuk belajar.
Setiap orang pasti punya cara tersendiri untuk belajar. Apapun itu, akhir dari semuanya yang terpenting adalah menulis itu menghadirkan rasa nyaman dan damai. Membawa kebaikan dan kebahagiaan. Menulis saja sebagaimana diri adanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI