Kemudian buku "Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya" yang renyah dan spontan sering bikin tersenyum meregangkan syaraf saya untuk belajar menulis  yang menghadirkan senyuman.
Bukan kotoran si cacing yang membuat tersenyum, tetapi cara penulisannya menceritakan kisah yang mau tak mau bikin senyuman manis saya hadir.
Sang penulis, Ajahn Brahm atau namanya aslinya Peter Betts kelahiran London, Inggris yang  terpanggil menjadi biksu di Thailand. Saat ini  berkarya di Australia dalam buku ini memang  sangat piawai menggoda syaraf tawa dengan cerita sederhana, tetapi mengena.
Dahlan Iskan, pemilik Jawa Pos Grup. Â Mantan wartawan yang sampai saat ini masih rajin menulis. Saya termasuk yang suka dengan gaya menulis beliau yang pendek-pendek. Jarang pakai koma. Langsung titik.
Menurut saya dengan gaya demikian jadi mudah memahami. Ringan. Nyaman membacanya. Tidak ngos-ngosan seperti habis lari maraton.
Oleh sebab itu saya belajar dengan hampir setiap hari membaca tulisan di situs milik beliau.
Kalau di Kompasiana saya suka gaya tulisan Pak Felix Tani alias Engkong Kenthir. Salah satu penghuni Gang Sapi yang rumahnya paling mudah dikenali. Karena ada pohon pisangnya.
Pohon pisang yang telah menjadi ide melahirkan banyak tulisan.
Walaupun tulisannya kadang membingungkan dan pakai bahasa yang berat dan rumit, tetapi dapat dipahami. Karena beliau dapat menjelaskan secara logis.
Selayaknya menulis di media sosial itu agar  semua pihak dapat memahami. Jangan sampai menulis malah membingungkan. Selesai membaca tidak mengerti apa-apa. Yang mengerti hanya diri sendiri.Â
Yang tidak  saya suka dan tidak hendak belajar dari Pak Felix adalah saltiknya itu. Kadang bikin bingung. Kesal juga. Namun, menurut saya tetap masih logis. Merujuk level usia beliau yang sudah mencapai engkong.Â