Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Roy Suryo dan Belajar Omong Kosong

20 Juni 2022   12:13 Diperbarui: 20 Juni 2022   12:55 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: diolah dari Canva 

 

Kegenitan bermedia sosial memang acap kali menimbulkan masalah. Hal ini akan terjadi bila tidak menyikapinya dengan bijaksana. Bukan sekali dua kali kita menyaksikan kejadian kericuhan yang terjadi karena apa yang tidak layak dan pantas pun diunggah di media sosial.

Apa selanjutnya yang terjadi? Minta maaf atau membela diri dengan segala omong kosong.

Roy Suryo kembali menjadi berita di media sosial dengan hal yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang yang dianggap berpendidikan. 

Soal sosok ini tentu banyak orang sudah mengetahuinya siapa beliau. Tak heran banyak yang menyesalkan apa yang terjadi. 

Namun, itulah yang terjadi akibat  kegenitan bermedia sosial. Nafsu keinginan mendahului akal sehat. Ketaksukaan menutupi kebijaksanaan. Ketakmengertian menyebabkan kebencian. 

Zaman sekarang tidak muda atau tua. Yang berpendidikan rendah ataupun tinggi. Bahkan tokoh publik yang sejatinya menjadi teladan justru membanjiri media sosial dengan segala aktivitas yang kadang tidak perlu. Bahkan menimbulkan perang kata.

Seperti apa yang dilakukan oleh Boy Suryo atau tokoh lainnya. Tentu kita yang aktif bermedia sosial mengetahui siapa-siapa saja yang menjadi pelakunya selama ini.

Sore itu saya menonton acara televisi yang menampilkan Roy Suryo dan beberapa tokoh lainnya. Pada kesempatan itu, Roy selain meminta maaf juga sibuk memberikan pembelaan atas apa yang dilakukan. 

Sepertinya layaknya orang yang sudah melakukan kesalahan, lantas minta maaf, tetapi dengan bumbu omong kosong. 

Alasannya mengunggah meme stupa Candi Borobudur dengan wajah mirip Presiden Jokowi sebagai bentuk kritik kepada pemerintah sungguh menggelikan.

Apa hubungannya stupa Candi Borobudur yang diganti dengan wajah mirip Presiden Jokowi dengan rencana kenaikan harga untuk naik ke stupa Borobudur?

Apalagi kemudian  dengan pembelahan bahwa meme tersebut bukan editan beliau. Artinya ia hanya menyebarkan. Pembelaan yang sangat konyol. Omong kosong. 

Bahkan dirinya merasa korban sekaligus juga pahlawan. Karena menurutnya ia sudah melaporkan para pelaku yang menyebarkan sebelum dirinya.

Dalam hal ini jelas Roy Suryo tahu unggahan meme tersebut adalah melanggar hukum. Kenapa dirinya justru ikut menyebarkan? Sungguh aneh, bukan? Kenapa ia tidak sekaligus melaporkan dirinya?

Banyak pihak sudah yang membahas tentang masalah ini dari berbagai sudut pandang khususnya dari segi hukum. 

Dalam kesempatan ini saya akan melihat dari sudut pandang lain. Untuk pembelajaran dalam bermedia sosial. Yang pasti hal ini juga menjadi cermin bagi diri saya sendiri sebagai bagian dari masyarakat yang aktif di media sosial.

Markimin. Mari kita bercermin.

  • Apakah yang saya tulis  layak dan pantas menjadi konsumsi publik?

  • Apakah yang saya tulis atau unggah akan menimbulkan permasalahan atau perdebatan yang tidak perlu di kemudian hari?

  • Apakah yang saya unggah atau tulis dapat menyakiti orang lain?

  • Apakah yang saya tulis atau unggah mengandung unsur kebencian?

  • Apakah yang saya tulis atau unggah hanya demi untuk pemuasan keegoan?

  • Apakah yang saya unggah atau tulis sekadar untuk memamerkan kepintaran?

  • Apakah yang saya tulis atau unggah ada nilai kebaikannya?

Ini beberapa pertanyaan minimal yang bisa menjadi cermin sebelum mengunggah tulisan atau gambar di media sosial. 

Jangan hanya karena nafsu keinginan menjadi viral, sehingga tanpa berpikir panjang dan menggunakan akal sehat. 

Jangan pula hanya karena kebencian kepada seseorang langsung melampiaskan di media sosial. Apalagi berlindung di balik identitas palsu.

Karena mesti percaya, walaupun orang lain tidak mengetahui, bahwa  apapun yang kita lakukan diri sendiri yang harus bertanggung jawab. 

Bagaimana bila menulis atau mengunggah hal-hal negatif atau sengaja menciptakan permusuhan di media sosial itu sudah merupakan pekerjaan?

Mungkin mereka akan mendapat banyak bayaran, tetapi janganlah kita menjadi seperti mereka.

@cermindiri, 17 Juni 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun